Menurutnya, ada kesamaan tabiat antara pemeritah Kolonial Belanda dengan pemerintah kita saat ini.
Dia menyebut, menurut laporan Raden Salamoen dari Politieke Inlichtingen Dienst (PID), pada tahun 1937 seorang warga Yogyakarta, SK Mochamad, menuliskan protesnya pada tembok di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Dia menulis beberapa pesan, di antaranya “Pemerintah Poekimak!”, “Poeki Wilhelmina”, “Perdjoangan Rakjat Marhaen”, “Tidak Oesah Takoet Menentang Kekoeasaan”, “Pemberontakan Kita Kehendaki”.
Baca Juga: Staf Presiden Sebut Mural yang Mengkritik Jokowi adalah Kekeliruan Praktik Demokrasi
Selanjutnya, pada 3 September 1937, SK Mochamad ditangkap atas tuduhan menghina penguasa.
“Mural dan grafiti adalah bagian dari sejarah kita yang juga turut mewarnai perjalanan sejarah kita melawan kolonialisme dan pemerintahannya yang otoriter. Itu ada dalam sejarah seni modern kita,” tuturnya.
Amalinda Savirani, pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM menilai demokrasi Indonesia tengah mengalami kemunduran.
Indikator dari kemunduran itu salah satunya dilihat dari data IPI, bahwa 69,6% responden dari seluruh Indonesia menyatakan ketakutannya untuk menyampaikan pendapat di ruang publik.
Indikator kedua, pemerintah hanya menghormati salah satu elemen demokrasi, yakni pemilu yang fair dan akuntabel.
Ketiga, semakin dibatasinya elemen-elemen demokrasi seperti kebebasan berekspresi dan berorganisasi.
“Buat terus kegiatan-kegiatan yang mengingatkan warga bahwa di Indonesia sedang ada persoalan (demokrasi),” jelasnya.
Di Indonesia, lanjut Amalinda, kebebasan internet relatif masih leluasa, dan bisa dimanfaatkan selama (gerakan sosial) mampu memperluas gerakan publik kritis di berbagai kota.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.