JAKARTA, KOMPAS.TV – Mural dan grafiti adalah bagian dari sejarah, yang turut mewarnai perjalanan melawan kolonialisme. Seni jalanan berusaha untuk melawan rezim moral yang menentukan baik dan buruk.
Kedua hal itu diungkapkan dua narasumber dalam kegiatan diskusi “Weekend Talk” yang diselenggarakan Public Virtue Research Institute (PVRI) berjudul “Mural: Semangat Melawan Regresi Demokrasi di Indonesia”, Minggu (12/9/2021).
Melalui kegiatan itu, Public Virtue mendesak pemerintah agar hentikan cara-cara represif atas seni jalanan.
Dosen Street Art di Program Studi Desain Komunikasi Visual UK Petra Surabaya Obed Bima Wicandra menjelaskan, seni jalanan merupakan disensus yang membongkar kesepakatan (konsensus) yang sudah ada.
“Seni jalanan berusaha untuk melawan rezim moral (yang menentukan baik dan buruk) dan rezim representatif (yang menentukan siapa memiliki kendali atas yang lain) dengan rezim estetik sehingga jika dihapus maka art street (seni jalanan) harus dibuat kembali dan seterusnya,” melalui keterangan tertulis.
Baca Juga: Indahnya Mural di Jalan Gajah Mada Pontianak
Menurutnya, ada empat prinsip yang harus dipahami dalam konteks seni jalanan dan negara. Keempatnya adalah seni jalanan harus dirusak, seni jalanan memang harus dilawan, seni jalanan harus disensus (melawan konsensus), dan seni jalanan memang harus terus memperjuangkan.
“Tanpa empat prinsip tersebut, seni jalanan sudah kehilangan unsur seninya.”
Obed menambahkan, dirinya mengutip pernyataan Habermas mengenai ruang publik. Ruang publik, lanjutnya, seharusnya dimiliki bersama dan dikelola bersama.
Tetapi, ketika ada seni jalanan muncul pertanyaan, benarkah ruang publik adalah milik bersama? “Ternyata tidak,” sambung Obed.
Sementara, sejarawan Sejarawan Bonnie Triyana, mengatakan, beberapa tokoh kemerdekaan Indonesia juga melakukan seni jalanan berupa mural hingga komik sebagai semangat perlawanan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.