SEMARANG, KOMPAS.TV - Permodelan tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) menyimpulkan eksploitasi air tanah lewat sumur bor adalah penyebab utama tanah di pantai Utara Jawa (Pantura) turun sehingga terancam tenggelam oleh air laut.
Hal ini diungkapkan peneliti Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas pada awak media. Dirinya dan tim peneliti ITB telah mempelajari masalah penurunan tanah di Indonesia sejak 1997.
Dari penelitian itu, timnya menyimpulkan bahwa 112 kabupaten/kota berpotensi mengalami banjir rob yang meluas.
Untuk saat ini, banjir rob paling parah melanda daerah Pantura, utamanya Semarang, Pekalongan, dan Demak.
Baca Juga: ITB: 112 Kabupaten/Kota di Indonesia Berpotensi Tenggelam
“(Banjir rob) itu perlahan-lahan makin luas. Dan kita temukan Semarang, Pekalongan, Demak yang sekarang paling mengkhawatirkan,” ungkapnya.
Heri menjelaskan, banjir rob bisa terjadi karena permukaan tanah turun hingga posisinya lebih rendah dari permukaan laut.
“Penurunan tanah) di Pekalongan, Semarang, Demak sekarang sampai 15-20 cm/tahun. Mirip kasus di Jakarta tahun 2007-2011,” jelas Heri.
Lalu, apa penyebab penurunan tanah ini?
Menurut Heri, ada beberapa penyebab penurunan air tanah yang memunculkan ancaman banjir rob dan tenggelam.
Pertama, eksploitasi atau penggunaan berlebihan air tanah lewat sumur bor yang kerap dilakukan masyarakat di pulau Jawa.
“Kalau kita melakukan eksploitasi air tanah, itu juga ada kompaksi di akuifer. Sehingga, tanah di atasnya turun,” ujar Heri.
Lalu, karakteristik tanah wilayah Pantura dan pembangunan juga menyebabkan penurunan tanah.
“Beban dari insfrastruktur dan urukan ketika membebani tanah lunak, itu akan menambah turun juga 1-2 cm, terutama urukan,” terang Heri.
Baca Juga: Pantura Jateng Berpotensi Tenggelam 10 Tahun Lagi, Ganjar: Tata Ruang Harus Dikendalikan
"Kemudian, kompaksi tanah alamiahnya. Satu Pantura semua mirip (menyebabkan penurunan tanah) 1-2 cm,” imbuhnya.
Namun, Heri menyebut, penyebab utama cepatnya penurunan tanah di Pantura adalah penggunaan air tanah berlebihan.
“Itu hipotesisnya sebenarnya (faktor terpenting penurunan tanah) cenderung ke arah eksploitasi air tanah. Dan di luar negeri juga sudah banyak kasusnya karena eksploitasi air tanah,” katanya
Hal ini berdasarkan permodelan yang dibuat oleh timnya sesuai data penelitian mereka. Meski begitu, Heri menyadari penggunaan air tanah ini tak terhindarkan karena banyak sungai di Pulau Jawa yang tercemar.
“Sumber air permukaan di Jawa tipikal sungai-sungainya tercemar. Akhirnya masyarakat ambilnya dari air tanah,” ujar Heri.
Penggunaan air tanah ini, kata Heri, tidak hanya untuk kebutuhan mandi cuci dan minum. Ia menyadari masih banyak petani yang menggunakan air tanah untuk mengairi sawah.
Tak hanya itu, program pemerintah, seperti Pamsimas pun menggunakan air tanah. Heri mengatakan, hal ini harus berubah untuk mengatasi ancaman Pantura tenggelam.
Ia pun mengusulkan dua solusi untuk mengatasi masalah banjir rob dan kebutuhan air masyarakat. Solusi pertama adalah penyaluran air lewat PDAM.
“Solusinya lebih permanen, ketika kita membenahi manajemen air. Misalnya, subtitusi (mengganti) air tanah dengan pipanisasi (penyaluran air lewat pipa PDAM),” jelas Heri.
Baca Juga: Prediksi Joe Biden dan Desa Bedono yang Tenggelam Karena Abrasi
Solusi kedua muncul untuk menyelesaikan masalah jangka pendek, yaitu pembuatan tanggul pencegah rob.
“Manajemen air butuh waktu. Sementara, potensi bencananya sudah di depan mata. Mau tidak mau tanggul itu tidak terhindarkan,” ujarnya.
Menurutnya, kedua solusi ini melengkapi satu sama lain untuk menyelesaikan masalah banjir rob dan ancaman Pantura tenggelam yang kompleks.
“Memang di luar negeri kasusnya, misal di Tokyo hal pertama yang mereka buat tanggul. Setelah itu, dilanjutkan manajemen air, saling melengkapi,” katanya.
Di sisi lain, Heri juga menyoroti masalah regulasi yang belum sensitif pada isu banjir rob dan penurunan tanah.
“Masalah penurunan tanah, masalah banjir rob itu belum ada regulasi kuat yang mengatur. Banjir rob dan penurunan tanah belum masuk kategori bencana dalam UU Kebencanaan Nomor 24 tahun 2007,” ujar Heri.
“Sementara, dasar untuk kementerian/kelembagaan itu harus berbasis nomenklatur. Sehingga, bergeraknya juga tidak mulus, kalau tidak berbasis regulasi,” lanjutnya.
Baca Juga: Soal Prediksi Jakarta akan Tenggelam, Megawati Ingin Ada Sidak Gedung di Sudirman-Thamrin
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.