YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Atmosfer Gorontalo terasa kental di RuangDalam Art House Yogyakarta. Ada puluhan karya seni bikinan para perupa Gorontalo yang terpajang di dalam galeri seni milik pelukis Gusmen Heriadi itu.
Memang tidak semua karya menggambarkan Gorontalo, namun sebagian besar instalasi dan lukisan yang terpasang serta video art performance cukup memberikan gambaran kekhasan kabupaten di Sulawesi itu.
Pengunjung akan disambut lengkingan bambuwa saat memasuki ruang pamer. Bambuwa adalah sebutan untuk kerang yang ditiup. Ternyata suara bambuwa itu berasal dari video art performance di dalam galeri.
Lantas apa kaitan bambuwa dengan Gorontalo?
Arnold Ahmad, seorang art performer Gorontalo menjelaskan keintiman orang Gorontalo dengan laut. Adegannya simbolik, dia mandi dengan menyiramkan aneka ikan ke sekujur tubuhnya. Tiupan bambuwa lekat dengan keseharian orang Gorontalo.
Baca Juga: 10 Perupa Yogyakarta Ngabuburit dengan Melukis On The Spot
Para pedagang ikan keliling naik sepeda sampai ke sudut-sudut permukiman penduduk dengan meniup bambuwa menawarkan dagangannya.
Belum selesai sampai di sini, mata pengunjung RuangDalam Art House juga langsung disambut pecahan-pecahan kayu yang dipajang di dinding menyerupai ombak. Judulnya Roh Laut.
Instalasi itu karya perupa Gorontalo bernama Halid Mustapa dan terlihat mencolok di antara karya seni lain yang didominasi lukisan.
Halid masih muda, usianya awal 20-an. Kegemarannya memancing. Bosan memancing, ia iseng mengumpulkan pecahan kayu di sekitar laut. Ia bertanya kepada nelayan. Kata nelayan, itu pecahan kapal, bangkai kapal.
"Saya tertarik mengumpulkan karena warnanya, warna-warni," ujarnya, Selasa (29/6/2021).
Bukan kali ini Halid mengumpulkan barang yang tidak terpakai. Ia kerap mengoleksi benda-benda yang dipulungnya dari jalan dan berkreasi membuat sesuatu dari benda-benda yang ditemukannya. Cara ini membuatnya memperoleh uang untuk membantu ibunya membesarkan adik-adiknya.
Baca Juga: Ragam Cara Perupa Yogyakarta Merespons Vaksin dalam Pameran di Miracle Prints
Gambaran tentang Gorontalo juga terlihat dari lukisan berjudul Anak Pulau Basa karya Jemmy Malewa. Lukisan bergaya realis itu menampilkan sosok anak di teras rumah dikelilingi air.
Banyak yang berpikir pulau basa adalah nama pulau. Tetapi ternyata bukan. Anak pulau basa yang dimaksud adalah anak pulau basah yang merujuk pada Gorontalo yang lokasinya diapit laut. Sebutan beberapa kata luluh "h" ketika orang Gorontalo menyebut, basah menjadi basa.
Ada pula karya perupa asal Bali yang juga tinggal di Gorontalo, Komang Wastra. Judulnya, Spirit Dayango. Lukisan ini menggambarkan tradisi dayango.
Dayango adalah salah satu ritual memanggil roh-roh arwah untuk dijadikan mediator untuk menyembuhkan orang sakit, yang penyembuhannya dilakukan dengan gerakan-gerakan dan teriakan.
Dayango merupakan ritual adat asli yang sampai sekarang belum hilang dandilakukan oleh suku Gorontalo.
Setidaknya ada 17 perupa Gorontalo yang memamerkan karyanya di RuangDalam Art House pada 21 sampai 30 Juni 2021.
Mereka yakni, Akbar Abdullah, Arnold Ahmad, Halid Mustapa, Iwan Yusuf, Jaki Sore, Jamal MA, Jemmy Malewa, Komang Wastra,Mohammad Rivai Katili, Pipin Idris, Riden Baruadi, Rio Kony, Rizal Misilu, Shandi Igirisa, Suleman Dangkua, Syam Terrajana, dan Yayat Gokilz Karikatur. Mereka tergabung dalam komunitas perupa Tupalo di Gorontalo yang sudah terbentuk sejak 2013.
Pameran tandang seni perupa Gorontalo ke Yogyakarta ini menjadi pilot project program Luar Peta yang diinisiasi RuangDalam Art House. Wolo Utiye dipilih menjadi tema besar pameran tandang ini.
Wolo Utiye adalah bahasa Gorontalo yang berarti apa itu. Diksi itu dipilih karena begitu dekat dengan hidup orang Gorontalo.
“Wolo Utiye" terlontar dengan nada setengah berteriak dari dalam rumah. Orang bertanya kepada pedagang ikan keliling yang meniup bambuwa. Pertanyaan itu akan dijawab dengan cekatan oleh pedagang ikan dengan ciri khas mereka masing-masing.
Baca Juga: Lemak Jenuh Jadi Cara Pelukis Gusmen Heriadi Berbagi di Yogyakarta
"Dalam pameran seni rupa ini, wolo utiye bisa dikaitkan dengan apa itu (karya-karya) yang kami bawa dari Gorontalo," kata Awaluddin Ahmad, aktivis kebudayaan Gorontalo dan salah satu motor penggerak komunitas Tupalo.
Direktur RuangDalam Art House, Titik Suprihatin mengatakan program Luar Peta sengaja digagas untuk mengakomodasi komunitas dan kelompok seni rupa yang punya geliat dan gerakan di luar kota-kota yang lazim dikenal sebagai peta seni rupa nasional, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Bali.
“Kami memilih Komunitas Tupalo untuk program perdana ini, karena sejauh ini punya geliat bagus dengan menghelat berbagai kegiatan seni rupa dan budaya di kampung halamannya, kegiatan mereka tidak hanya melibatkan seniman, tapi juga membuat masyarakat luas dan elemen lain di luar seni rupa ikut berpartisipasi,” ujarnya.
Semula pameran dalam program Luar Peta akan digelar pada 2020 lalu, namun tertunda karena pandemi. Selanjutnya RuangDalam Art House akan “berburu” komunitas rupa yang akan ditawarkan program Luar Peta.
Putu Sutawijaya, seniman dan pemilik Sangkring Art Space Yogyakarta, dalam pembukaan pameran menilai semangat teman-teman dari sudut pulau Sulawesi ini patut diapresiasi.
Baca Juga: Undangan untuk Perupa Seni Kriya Berkarya di Tengah Pandemi, Cek Caranya
"Saya berterima kasih kepada RuangDalam Art House, yang telah membawa ke Yogyakarta, mendekatkan kepada kantong-kantong kebudayaan. Harus membangun jaringan, punya partner di luar Gorontalo kalau ingin melakukan sesuatu. Saya ingin sekali memberikan kesempatan (Tupalo) ke Sangkring. Ini salah satu cara biar teman-teman bisa konsisten. Saya tunggu proposal di Sangkring,” ucapnya.
Menurut Putu Sutawijaya, seni rupa sangat diskriminatif sebab dalam konstelasi seni rupa selalu bicara antara Jawa dan Bali. Melalui pameran di RuangDalam Art House, perupa Gorontalo bisa menunjukkan dirinya dam dengan proses ini orang bisa mengenal potensi seni rupa di luar Jawa dan Bali.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.