BANYUWANGI, KOMPAS.TV- Heboh pembicaraan akan terjadinya tsunami besar di wilayah pesisir Laut Selatan tepatnya di wilayah Jawa Timur, membuat semua pihak meningkatkan kesiapan dan kewaspadaannya jika tsunami tersebut benar-benar terjadi.
Sejatinya, banyak pertanda akan terjadinya tsunami sebagai pendeteksi dini mulai dari secara alami maupun dengan peralatan canggih. Untuk cara alami, seperti cara deteksi dini bakal terjadinya tsunami yang dimiliki warga pesisir Banyuwangi, Jawa Timur.
Kemampuan deteksi dini terhadap tsunami seperti yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Sarongan, Banyuwangi. Ternyata masyarakat setempat mempunyai kearifan lokal soal tanda-tanda terjadinya tsunami, selain adanya gempa besar.
Hal ini bukan asal-asalan, sebab tanda tersebut berdasarkan pengalaman wilayah desa ini yang sempat dihantam tsunami pada 1994 lalu. Apalagi dari bencana tsunami 1994 itu sudah memakan ratusan korban meninggal dunia.
Sementara untuk warga Desa Sarongan, diketahui ada 60 orang warga desa yang menjadi korban. Dari jumlah itu, 43 di antaranya dinyatakan hilang.
Baca Juga: BMKG Pastikan Kesiapan Daerah Menghadapi Potensi Gempa dan Tsunami
Ketua Desa Tangguh Bencana (Destana) Sarongan Agus Salim Afandi mengatakan ada dua peristiwa janggal yang menjadi tanda jika akan terjadi tsunami.
Pertama, yakni ikan-ikan terlihat menepi ke area pantai. Fenomena ikan minggir ini dipercaya karena di dalam laut sedang terjadi peristiwa tak biasa.
“Kalau tsunami itu, ikan minggir. Mereka tahu, kok terjadi ikan minggir ini kan terjadi sesuatu, warga pasti curiga," kata Agus Salim, Kamis (10/6/2021).
Selain itu, kata dia, air laut biasanya berbau lebih tajam dan menyengat dari hari-hari biasanya.
"Ini asinnya menyengat sekali kalau terjadi tsunami. Ini orang dulu (yang mengalami tsunami) yang bilang begitu," paparnya.
Menurutnya, warga Desa Sarongan sudah terbiasa dan tahu apa yang dilakukan jika terjadi tsunami. Salah satunya jika terjadi gempa besar, mereka sudah pasti mencari tempat tinggi untuk evakuasi diri. Warga juga sudah terbiasa dengan mitigasi skema 20-20-20.
Baca Juga: Ada Potensi Tsunami 29 Meter, Wisata Pantai Selatan di Blitar Sepi Pengunjung
Skema ini adalah pedoman mitigasi bencana bagi masyarakat awam, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai.
Skema tersebut menjelaskan jika masyarakat merasakan guncangan selama 20 detik, maka setelah itu harus mengevakuasi diri. Sebab, dalam 20 menit potensi tsunami akan terjadi. Selanjutnya, masyarakat diimbau lari menjauhi pantai menuju tempat yang lebih tinggi, dengan ketinggian minimal 20 meter.
“Kami sudah persiapkan daerah 20 meter ke atas, ini agar masyarakat aman. Kami sudah memberi angan-angan ke masyarakat, hingga pengenalan tanda-tanda," kata dia seperti dikutip dari Kompas.com.
Ingatan Agus pun langsung kembali pada tahun-tahun sebelum 1994 yang disebutnya saat itu masyarakat memang belum tahu apa itu tsunami dan tanda-tandanya.
"Dulu tak tahu, sekarang sekali ada gempa meski tak kuat, sudah lari. Jika sirine bunyi langsung lari," tambahnya.
Baca Juga: Ramai Informasi Potensi Tsunami 29 Meter, Wisata Pantai Sepi Pengunjung
Latihan mitigasi semacam ini selalu dilakukan 2 hingga 3 kali dalam setahun. Hal ini untuk mempertajam insting warga jika ada tanda-tanda tsunami. Ia menjelaskan, Destana merupakan desa tangguh bencana yang dibentuk BPBD. Destana beranggotakan 35 orang yang bertugas memberikan sosialiasi bencana.
"Ruhnya kami di sosialisasi, minimal 2-3 kali dalam setahun mitigasi bencana," katanya.
Terpisah, Kasi Pencegahan Bencana BPBD Banyuwangi, Yusuf Arif mengatakan ada 6 desa di pesisir pantai selatan Banyuwangi yang membentuk Destana. Di antaranya Desa Sumberagung, Desa Pesanggaran, Sarongan, Grajagan, Muncar, dan Kedungringin.
"Di desa-desa tersebut sudah dilengkapi rambu dan jalur evakuasi ketika sewaktu-waktu bencana datang," tandas dia.
Baca Juga: Heboh SMS Peringatan Dini Tsunami di Jawa-Bali-NTT, BMKG Minta Maaf
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.