TERNATE, KOMPAS.TV - Siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Kota Surabaya menemukan alat detektor dini disleksia.
Disleksia adalah kondisi di mana seorang anak mengalami kesulitan memahami sesuatu, ditandai kesulitan membaca dan menulis.
Disleksia menjadi masalah yang cukup umum di Indonesia, dengan prevalensi 10 persen menurut data Dyslexia Center Indonesia (2019).
Baca Juga: Diperpanjang, Berikut Jadwal Terbaru Pendaftaran Seleksi CPNS 2024 di Kemdikbudristek dan Kemenag
Guru pembimbing penelitian ini, Vira Wardati menjelaskan, pada setiap kelas berisi 30 anak.
Biasanya ada 2-3 yang sebenarnya menderita disleksia, dan banyak dari mereka tidak ketahuan, sehingga tidak dilakukan terapi.
"Tanda-tanda anak disleksia itu waktu kecil mereka terlambat bicara, dan biasanya saat usia sekolah kesulitan diajari menulis," katanya melalui keterangan tertulisnya, Kamis (5/9/2024).
Penelitian dua siswi MTsN 2 Kota Surabaya ini bertajuk "Implementasi Metode Neural Network dan Elektroensevalografi pada Rancang Bangun Aplikasi Deteksi Disleksia Berbasis Mobile (DMD)".
Dengan temuan ini, penderita disleksia dapat dideteksi secara instan tanpa melalui rangkaian tes yang melelahkan sebagaimana selama ini ditempuh oleh para psikolog.
Peneliti yang terlibat adalah dua siswi kelas IX bernama Fathi Zahiya (14) dan Nur Maisyah Ilmira (14).
Temuannya tersebut menjadi salah satu finalis di ajang Madrasah Young Researcher Supercamp (MYRES) 2024 yang digelar oleh Kementerian Agama dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis) di Ternate, Maluku Utara, 3-7 September 2024.
Di ajang Expo MyRes di Hotel Bela Ternate (5/9/2024), salah satu peneliti, Fathi Zahiya menjelaskan, otak manusia memiliki gelombang alfa, beta, delta, gama, dan theta.
Gelombang-gelomang itu dapat dideteksi dari permukaan otak dengan alat yang bernama elektroensefalografi (EEG) yang dapat mengukur amplitudonya.
Baca Juga: Kemenag Cairkan Dana BOS Madrasah Tahap II sampai Oktober 2024
Menurut Fathi Zahiya, pada penderita disleksia, selalu gelombang beta dan gama-nya tidak beraturan.
"Dari sini saja sudah dapat disimpulkan bahwa obyek mengalami gangguan disleksia," kata siswi cantik ini.
Simpulan ini kemudian diuji dengan metode epoch selama 20 kali, dan akurasinya seratus persen.
Di tangan dua siswi MTsN 2 Kota Surabaya ini, deteksi disleksia langsung diketahui secara instan.
Caranya dengan menempelkan beberapa sensor di kepala anak yang dites, kemudian dibaca dengan alat elektroensefalografi (EEG) tadi.
Hasilnya akan menunjukkan grafik semua gelombang otak secara terperinci dalam skala amplitudo.
"Jadi setelah dites langsung keluar hasilnya, dengan hasil skor yang akurat," kata Fathi Zahiya.
Menurut guru pembimbingnya, Vira Wardati, metode ini belum dipakai oleh para psikolog.
"Sampai saat ini belum ada aplikasi alat ini untuk deteksi disleksia. Para psikolog masih menggunakan tes manual," jelas Vira.
Perangkat ini disiapkan dalam dua bulan oleh Tim MTsN 2 Kota Surabaya dengan biaya sebesar Rp5 juta. Alat ini hanya detektor, bukan untuk terapi.
Tetapi kata Vira, penting artinya bagi penderita disleksia agar dapat dideteksi sejak dini, sehingga pengobatannya lebih mudah dan perlakuannya lebih tepat.
Vira menjelaskan, disleksia dapat diterapi secara dini dan lebih besar peluang berhasilnya secara tuntas.
Intervensi dini dapat membantu anak-anak disleksia menjadi pembelajar yang terampil.
Baca Juga: Link Format Surat Pernyataan dan Lamaran CPNS 2024 Kemenag, Kemenkumham, Kemenkes, dan Kominfo
Ia melanjutkan, selama ini para psikolog mengenal empat jenis terapi disleksia, yaitu terapi wicara (speech therapy), terapi multisensori, terapi program membaca, dan terapi yoga.
Keempatnya dipercaya dapat meningkatkan kemajuan otak kecil untuk anak-anak dengan disleksia, dispraksia, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Semuanya itu adalah gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.