JAKARTA, KOMPAS.TV - Nama Ir Soeratin Soesrosoegondo merupakan seseorang yang bisa dibilang paling berjasa dalam kancah sepak bola Indonesia.
Meski jasanya sangat besar, mungkin masih banyak yang tak mengenal Soeratin terutama para generasi muda di zaman sekarang.
Soeratin merupakan pendiri induk sepak bola di Indonesia atau biasa yang kita kenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Jasanya yang begitu besar bagi sepak bola tanah air membuat PSSI berhasrat menjadikan Ir Soeratin Soesrosoegondo sebagai pahlawan nasional.
Hingga saat ini, sudah ada 100 orang lebih pahlawan nasional, dari sipil, militer, dari daerah, dari berbagai bidang. Namun, belum satu pun kalangan olahragawan menjadi pahlawan.
Menurut Peraturan Presiden No 33 Tahun 1964, pahlawan adalah: a) warga negara RI yang gugur dalam perjuangan-yang bermutu-dalam membela bangsa dan negara; b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya.
Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang memiliki keberanian dan rela berkorban membela kebenaran.
PSSI merasa apa yang telah dilakukan Soeratin bagi sepak bola Indonesia membuatnya pantas dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Pada setiap tahun ketika HUT PSSI, jajaran pengurus selalu mengupayakan agar nama Ir Soeratin Soesrosoegondo dilantik sebagai pahlawan nasional.
Namun hingga kini, Soeratin -yang namanya juga dipakai PSSI sebagai nama kompetisi usia muda- belum juga diakui sebagai pahlawan nasional.
Baca Juga: Pendiri PSSI, Soeratin Sosrosoegondo Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Soeratin lahir di Yogyakarta 17 Desember 1898. Ayahnya, R Soesrosoegondo, merupakan guru Kweekschool (sistem pendidikan di zaman Belanda) dan seorang pengarang buku, antara lain Bausastra Bahasa Jawi. Istrinya, RA Srie Woelan, adalah adik kandung Dr Soetomo, tokoh pendiri Budi Utomo.
Soeratin menamatkan pendidikannya di Koningin Wilhelmina-school (KWS) di Jakarta dalam waktu lima tahun. Tahun 1920 ia mencari ilmu di Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, dekat Hamburg, Jerman, tamat sebagai insinyur sipil tahun 1927 dan kembali ke Tanah Air pada 1928.
Sekembali dari Eropa, ia berkerja dengan perusahaan konstruksi terkemuka milik Belanda yang banyak membangun jembatan dan gedung di daerah Tegal dan Bandung. Di saat yang bersamaan, Soeratin juga merintis pendirian organisasi sepak bola tahun 1930 yang merupakan cikal bakal dari PSSI.
Organisasi tersebut boleh dikatakan sebagai wujud dari Sumpah Pemuda 1928. Nasionalisme diharapkan bisa berkembang melalui olahraga sepak bola.
Seperti sang ipar, Dr Soetomo yang berkeliling Pulau Jawa untuk menemui banyak tokoh dalam rangka menekankan pentingnya pendidikan, disusul pendirian Budi Utomo, hal serupa turut dilakukan oleh Soeratin.
Ia pergi untuk menemui tokoh-tokoh sepak bola pribumi yang berada di Solo, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Bandung. Pertemuan yang diadakan Soeratin ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda (PID).
Tanggal 19 April 1930, beberapa tokoh dari berbagai kota pun berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI). Istilah sepakraga kemudian diganti sepak bola dalam Kongres PSSI di Solo tahun 1950.
Pertemuan yang menjadi tanggal bediri PSSI ini sempat diwartakan harian Sediotomo (22/4/1930) sebagai berikut:
"Djam 9 voorzitter PSM Toean Daslam boeka vergadering seperti biasa. Speker merasa gembira, bahwa ia poenja seroean boeat adakan satoe badan persatoean dari voetbal-bonden Indonesiers telah dapat perhatian penoeh. Ia pertjaja itu tjita-tjita sekali ini tentoe tidak gagal lagi. Lebih djaoeh diterangkan goenanja sport jang dalam pribahasa Djawa dipandang djoega kekoeatan akan tjapai kemadjoean bangsa."
Setelah resmi berdiri, PSSI lalu melakukan kompetisi secara rutin sejak 1931 dan ada instruksi lisan yang diberikan kepada pengurus, jika bertanding melawan klub Belanda tidak boleh kalah.
Sebagai pendiri, Soeratin kemudian menjadi ketua umum organisasi selama 11 tahun berturut-turut.
Baca Juga: Piala Dunia 2034, PSSI Susun Program dengan AFF
Kegiatannya mengurus PSSI membuat Soeratin memutuskan untuk keluar dari perusahaan Belanda tempat di mana ia bekerja dan mendirikan usaha sendiri.
Ketika masa Jepang menjajah Indonesia dan perang kemerdekaan meletus, kehidupan Soeratin menjadi amat sulit. Rumah yang ia huni bahkan pernah diobrak-abrik oleh Belanda.
Soeratin juga sempat aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Letnan Kolonel.
Setelah penyerahan kedaulatan, ia menjadi salah seorang pimpinan Djawatan Kereta Api (DKA), cikal bakal PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Soeratin meninggal tahun 1959 setelah menderita sakit dan tak mampu menebus obat akibat kemiskinan.
Rumahnya berukuran 4 x 6 meter di Jalan Lombok Bandung, hanya terbuat dari gedhek (dinding bambu). Tidak ada yang ditinggalkan kecuali organisasi yang ia cintai, PSSI.
Sepak bola yang jarang ditulis dalam sejarah Indonesia, sebetulnya juga terkait nasionalisme dan integrasi bangsa sebagaimana dikatakan Freek Colombijn (The Politics of Indonesian Football, Archipel 59, Paris, 2000):
"Football and society, or football and politics, are so interwoven that it would be possible to tell Indonesia s recent history of integration, nationalism, and modernization in terms of the development of football."
"Sepak bola dan masyarakat, atau sepak bola dan politik, begitu terjalin sehingga memungkinkan untuk menceritakan sejarah integrasi, nasionalisme, dan modernisasi Indonesia baru-baru ini dalam hal perkembangan sepak bola."
Dilansir dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saat masa Hindia Belanda, klub sepak bola pertama didirikan tahun 1895 oleh John Edgar di Surabaya.
Di Padang, klub pertama yang dibentuk adalah Padangsche Voetbal Club tahun 1901.
Klub di Hindia Belanda waktu itu masih bersifat segregasi. Tiap kelompok ras memiliki klub sendiri yang juga bertanding sesama mereka (Eropa, Tionghoa, dan pribumi).
Para tahun 1921 di Padang ada liga yang menarik bayaran dari penonton (10 sen bagi pribumi, menonton sambil berdiri, 20 sen untuk "bukan pribumi ", dan 50 sen dapat kursi). Belum ada stadion permanen dengan tribun, melainkan tersebar di sekeliling lapangan dengan dipasang bambu.
Dalam konteks masa penjajahan, jasa Soeratin sangatlah banyak. Namun ada tiga hal yang membuatnya layak untuk disebut sebagai pahlawan nasional.
Pertama, ia berani menggunakan label Indonesia pada organisasi yang didirikan, bukan Hindia Belanda.
Kedua, pertandingan sepak bola yang rutin dan periodik dilakukan antarklub pribumi di antarkota merupakan realisasi Sumpah Pemuda 1928. Langkah tersebut sekaligus bagian proses penumbuhan integrasi nasional yang kemudian juga menjadi tujuan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang digelar setelah Indonesia merdeka.
Ketiga, tujuan organisasi persepakbolaan yang digagas dan diwujudkan adalah mencapai kedudukan yang setara dengan orang Eropa (juga Tionghoa).
Dengan banyaknya jasa yang telah diberikan oleh Soeratin tak salah rasanya jika suatu saat ia diberi gelar pahlawan nasional.
Nantinya, pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeratin diharapkan bisa menjadi momentum guna membangkitkan kembali sepak bola di tanah air agar ke depannya bisa memberikan suatu prestasi yang membanggakan bagi Indonesia.
Baca Juga: 90 Tahun PSSI, Ketum Perjuangkan Soeratin Sosrosoegondo Jadi Pahlawan Nasional
Sumber : Kompas TV/LIPI/Kompas
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.