JAKARTA, KOMPAS.TV - Tepat pada hari ini 29 tahun lalu, Susi Susanti meraih medali emas Olimpiade pertama Indonesia pada 4 Agustus 1992. Lagu “Indonesia Raya” yang berkumandang di acara puncak Olimpiade Barcelona 1992 membuat Susi menangis.
Pada hari itu, Susi Susanti berhadapan dengan pebulu tangkis Korea, Bang Soo Hyun. Di tengah tekanan luar biasa untuk juara, Susi bingung dengan ritme permainannya.
Bang berhasil unggul di awal pertandingan karena berhasil mengatur ritme permainan. Padahal, Susi lebih unggul dari Bang, bila melihat rekor pertemuan mereka.
Di gim kedua, Susi Susanti bangkit dan mulai menemukan tempo permainan. Gim kedua berhasil ia menangkan, sehingga pertandingan berlanjut ke rubber game.
Baca Juga: Momen Langka Olimpiade, Atlet Lompat Tinggi Qatar dan Italia Berbagi Medali Emas
"Akhirnya bisa sampai gim ketiga. Dari sini saya mulai yakin, saya lebih unggul fisik, dia tidak pernah menang melawan saya kalau rubber game," ujar Susi, dilansir dari badminton.org.
"Ibaratnya saya ini mesin diesel, makin lama makin panas,” imbuhnya.
Akhirnya, Susi menang dengan skor 5-11, 11-5, 11-3. Jerih payahnya selama ini berbuah.
Lalu, masyarakat Indonesia menyaksikan Susi Susanti berdiri di puncak podium Olimpiade dengan leher terkalung medali emas.
Saat lagu “Indonesia Raya” terdengar di seluruh sudut stadion, Susi Susanti menangis berderai-derai.
Tangis Susi Susanti dan kebanggan masyarakat Indonesia itu menjadi legenda hingga saat ini. Namun, ada hal-hal yang jarang diketahui di balik kisah manis itu.
Perjuangan Susi
Susi Santi lahir di Tasikmalaya pada 11 Februari 1971. Dengan dukungan penuh orang tuanya, Susi berlatih bulu tangkis sejak kecil.
Ia menghabiskan waktu 7 tahun berlatih di klub milik pamannya, PB Tunas Tasikmalaya. Setelah itu, ia pindah ke Jakarta pada 1985.
Pada tahun yang sama, Susi Susanti meraih gelar juara World Championship Junior di usia 14 tahun.Gelar itu ia rengkuh dengan menaklukkan para pebulu tangkis junior di nomor tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran.
Baca Juga: Perkenalkan Muamar Qadafi, Pelatih Asal Solo yang Bantu Kevin Cordon Lolos Semifinal Olimpiade Tokyo
Kemudian, Susi pindah ke PB Jaya Raya untuk lebih serius menekuni bulu tangkis.
Langkah Susi pun makin jauh. Pada rentang 1987-1991 ia setidaknya meraih 19 gelar juaradi tingkat dunia maupun Asia Tenggara.
Dengan capaian itu, Susi membidik emas Olimpiade Barcelona, di mana bulu tangkis menjadi cabang olahraga untuk pertama kalinya.
Walau telah meraih banyak gelar juara, Susi tak lelah berlatih. Kontingen Indonesia bisa berlatih hingga pukul 22.00 setiap hari.
“Waktu persiapan Olimpiade kami latihan tiga kali. Memang ekstra ada tambahan latihan, fokus, lalu banyak strategi-strategi yang dipersiapkan seperti analisis kelemahan dan kelebihan dari masing-masing atlet yang akan menjadi lawan kami,” kata Susi, Kamis (24/6/2021), dilansir dari Kompas.com.
Namun, Susi mengaku kerap melakukan latihan tambahan bersama pasangannya Alan Budikusuma atau penghuni pelatnas lainnya. Ia juga menyiapkan mentalnya karena tekanan untuk juara begitu tinggi.
Seluruh kerja keras itu akhirnya terbayar, ia meraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992. Tekanan yang ia rasakan selama Olimpiade Barcelona pun terangkat.
Susi mengaku, setiap orang yang menemuinya berharap ia juara di turnamen terakbar dunia itu
“Saya kalau juara tidak pernah selebrasi. Pada Olimpiade 1992, pertama kali saya langsung berteriak. Rasanya beban saya, tanggung jawab saya, lepas semua," tutur Susi, dikutip dari badminton.org.
Tak cuma itu, Susi mengawinkan medali emas nomor tunggal putri dengan medali emas nomor tunggal putra dari Alan Budikusuma.
Baca Juga: Atlet Juga Manusia, Saat Kevin Sanjaya hingga Simone Biles Alami Tekanan Mental Kuat
“Pasangan Emas ini” memberi kado manis bagi masyarakat Indonesia jelang HUT RI tahun 1992.
Diskriminasi
Susi boleh jadi pahlawan bagi Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992. Akan tetapi, diskriminasi pada dirinya sebagai anggota etnis Tionghoa tak juga surut.
Diskriminasi itu bahkan dilindungi Orde Baru lewat Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Akibatnya, etnis Tionghoa tak bisa bebas hidup.
Pada saat Susi Susanti hendak menikah dengan Alan Budikusuma, mereka pun mengalami masalah.
Mereka kesulitan mengurus izin pernikahan karena tak memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
SKBRI juga buah tangan Suharto. Presiden ke-2 Indonesia itu mengesahkan Keppres Nomor 5 Tahun 1996 sebagai landasan SKBRI.
Warga Tionghoa pun mesti memiliki SBKRI untuk mengurus dokumen khusus. Masalah kewarganegaraan dan SBKRI ini juga dialami Susi.
Ia mengaku bolak-balik ke pengadilan untuk mengurus SBKRI. Namun, ia tak kunjung mendapatkannya, meski telah mengharumkan nama Indonesia di Olimpiade.
Masalah serupa juga dialami banyak orang etnis Tionghoa. Pelatih Pelatnas PBSI era 1980, Tong Sin Fu dan Liang Tjiu Sia juga kesulitan mendapatkan SBKRI.
Baca Juga: Atlet Indonesia Ukir Prestasi, Pengamat Buka Suara Soal Cabor Langganan Juara yang Minim Dukungan
Tjiu Sia perlu menunggu 2 tahun untuk mendapatkan dokumen itu pada 1989, meski ia telah berjasa bagi Indonesia.
Sementara, Tong Sin Fu malah tak juga mendapat SBKRI. Padahal, ia berjasa mencetak banyak atlet papan atas, seperti Alan Budikusuma, Hariyanto Arbi, dan Joko Suprianto.
Karena memikirkan nasib keluarganya, Tong Sin Fu akhirnya memutuskan menerima kewarganegaraan China.
Ketika masalah kewarganegaraan Susi ini ramai jadi perbincangan di media, pemerintah Orde Baru akhirnya mempercepat pengurusan SBKRI Susi.
Sumber : Kompas TV/Kompascom/badmintonorg
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.