JAKARTA, KOMPAS.TV - Badan Intelijen Negara (BIN) merespons kritik keras Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan buronan Djoko Tjandra.
BIN mengakui bahwa pihaknya berwenang melakukan operasi di luar negeri, juga memiliki perwakilan di luar negeri termasuk dalam upaya mengejar koruptor.
Namun tidak semua negara ada perjanjian ekstradisi dengan Indonesia sehingga harus dilakukan upaya lain.
Sementara info yang diperoleh rata-rata para terdakwa kasus korupsi masih melakukan upaya hukum PK (Peninjauan Kembali).
Baca Juga: Budi Gunawan Dianggap Gagal Deteksi Djoko Tjandra, Begini Respons BIN
"Demikian juga masalah Djoko Tjandra, masih mengajukan PK, hal ini menjadi kewenangan yudikatif untuk menilai layak dan tidaknya pengajuan PK berdasarkan bukti baru (novum) yang dimiliki," ujar Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/7/2020).
"Jika ada pelanggaran dalam SOP proses pengajuan PK maka ada tindakan/sanksi. BIN tidak berkewenangan melakukan intervensi dalam proses hukumnya," sambungnya.
Wawan menuturkan, hingga saat ini BIN terus melaksanakan koordinasi dengan lembaga intelijen dalam dan luar negeri dalam rangka memburu koruptor secara tertutup.
Hal ini pun sebagaimana terjadi pada kasus penangkapan Totok Ari Prabowo dan Samadikun Hartono. Demikian juga dalam kasus Maria Pauline Lumowa yang ujung tombaknya adalah Kemenkumham.
Selain itu, Wawan mengingatkan bahwa BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, sehingga laporan BIN langsung ke Presiden tidak disampaikan ke publik.
Kemudian BIN juga tidak mempunyai kewenangan penangkapan baik di dalam maupun di luar negeri. Sebab, BIN bukan lembaga penegak hukum.
"BIN memberikan masukan ke Presiden yang sifatnya strategis menyangkut keamanan negara. BIN juga bertindak sebagai koordinator lembaga Intelijen Negara dan melakukan koordinasi dengan Penyelenggara Intelijen Negara lainnya, yaitu Intelijen TNI, Kepolisian, Kejaksaan dan Intelijen Kementerian/ non-Kementerian," jelasnya.
Baca Juga: Presiden Jokowi Diminta Copot Budi Gunawan dari Kepala BIN karena Gagal Deteksi Djoko Tjandra
BIN Dinilai Gagal
Diketahui sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberhentikan Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara atau BIN karena dianggap gagal mendeteksi Djoko Tjandra di Indonesia.
ICW memandang, Presiden Jokowi perlu mengevaluasi Budi Gunawan karena dianggap gagal mengantisipasi datangnya seorang buronan kasus pengalihan utang atau cessie Bank Bali itu.
Tak hanya kedatangannya dari luar negeri, tapi juga ketika sudah berada di Indonesia yang terbukti bisa lalu lalang sampai-sampai bisa membuat KTP elektronik.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan bahwa munculnya polemik Djoko Tjandra menjadi tamparan keras bagi penegak hukum.
Selain itu, hal tersebut menunjukkan bahwa BIN tidak memiliki kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kelas kakap tersebut.
Itu terlihat dari masuknya Djoko Tjandra ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Ini membuktikan bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal,” kata Kurnia Ramadhana melalui keterangan resminya di Jakarta pada Selasa (28/7/2020).
Karena itu, kata Kurnia, ICW meminta Presiden Jokowi segera memberhentikan Kepala BIN, Budi Gunawan.
Terlebih, jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa adanya informasi intelijen mengenai koruptor yang masuk ke wilayah Indonesia, namun tidak disampaikan kepada Presiden dan penegak hukum.
"Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kinerja Kepala BIN, Budi Gunawan," ujar Kurnia Ramadhana.
"Karena terbukti gagal dalam mendeteksi buronan kasus korupsi, Djoko Tjandra, sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah berpergian di Indonesia," sambungnya.
Baca Juga: ICW Desak Presiden Jokowi Evaluasi Kepala BIN
Anggaran BIN
Merujuk pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Petikan Tahun Anggaran 2020, negara memberikan alokasi anggaran kepada BIN sebesar Rp 7,4 triliun.
Dari anggaran tersebut, sebanyak Rp 2 triliun digunakan untuk operasi intelijen luar negeri. Selain itu, terdapat alokasi anggaran sebesar Rp 1,9 triliun untuk modernisasi peralatan teknologi intelijen.
"Besarnya anggaran yang diterima dengan masih banyaknya jumlah buronan yang berkeliaran tidak linear dengan kinerja BIN," kata dia.
Berpegang pada pengalaman sebelumnya, BIN sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada 2015 dan Samadikun Hartono di China pada 2016.
Namun berbeda dengan kondisi saat ini, praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, sejak tahun 1996 hingga 2020 terdapat 40 koruptor yang hingga saat ini masih buron.
Lokasi yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian koruptor di antaranya: New Guinea, China, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia.
Baca Juga: Megawati Bongkar Kenakalan Prabowo dan Budi Gunawan Saat Jadi Taruna Akmil
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.