JAKARTA, KOMPAS TV - Pertamina berencana mengurangi produk bahan bakar minyak atau BBM yang tak ramah lingkungan atau mempunyai kadar Research Octane Number (RON) di bawah 91.
Demikian hal tersebut diungkapkan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati. Menurut dia, pengurangan produk BBM yang tidak ramah lingkungan itu perlu dilakukan agar sejalan dengan kesepakatan pemerintah dalam mengurangi emisi gas karbon.
Kesepakatan itu pun tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2017 mengenai batasan Research Octane Number (RON).
Baca Juga: Dirut Pertamina Nicke Widyawati Ungkap Harga BBM Bisa Saja Diturunkan
"Jadi, ada regulasi KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang menetapkan bahwa untuk menjaga emisi karbon itu, menjaga polusi udara ada batasan di RON berapa gitu, di kadar emisi berapa," kata Nicke dalam sebuah diskusi virtual pada Senin (15/6/2020).
Berdasarkan Peraturan KLHK Nomor P.20 Tahun 2017 itu, Indonesia sudah harus mengadopsi kendaraan BBM berstandar Euro 4 sejak 10 Maret 2017.
BBM yang memenuhi standar Euro 4 adalah bensin dengan Research Octane Number (RON) di atas 91 dan kadar sulfur maksimal 50 ppmuntuk produk diesel.
Baca Juga: Presiden Jokowi Disomasi karena Tak Kunjung Turunkan Harga BBM
Nicke menambahkan, pihaknya akan memprioritaskan produk yang ramah lingkungan. Karena itu, pihaknya akan mendorong masyarakat untuk menggunakan BBM ramah lingkungan menjaga udara jauh lebih baik.
"Untuk mendukung lingkungan lebih sehat, lebih bersih, kami dorong untuk gunakan BBM ramah lingkungan. Feasibility BBM ramah lingkungan kita akan tambah untuk kebaikan anak cucu ke depan," tutur Nicke.
Adapun terkait kapan waktu penyederhanaan produk BBM, Nicke mengatakan, hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah.
"Mengenai penyederhanaan produk sebaiknya kita lihat filosofinya. Ada regulasi pemerintah dan kesepakatan dunia, ada regulasi KLHK yang menetapkan untuk menjaga polusi udara ada batasan RON," kata Nicke.
Sementara itu, wacana penyederhanaan bahan bakar tak ramah lingkunghan dengan menghapus premium sebetulnya bukanlah hal baru.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbel sebelumnya mengusulkan Premium dihapus karena tidak sesuai teknologi otomotif saat ini.
"Masa kita menggunakan BBM yang kualitasnya zaman 50 tahun yang lalu? Mending dihapus sekalian karena kalau digunakan, kendaraan kita akan cepat rusak," kata Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin.
Selain itu, Faisal Basri yang pernah tergabung dalam Tim Reformasi Tata Kelola Migas, juga pernah merekomendasikan agar impor BBM jenis RON 88 atau Premium dihentikan.
"Sesuai rekomendasi Tim, intinya premium RON 88 itu dihapus, hilang, tidak lagi dijual di SPBU. Buat apa? Di market hanya ada RON 92 ke atas," ujar Faisal.
Baca Juga: Kabar Baik, Pemerintah Segera Turunkan Tarif Listrik dan BBM
Alasannya, sudah hampir tak ada lagi negara di dunia ini yang memproduksi bensin RON 88.
Selama ini, Pertamina mengimpor bensin RON 92 untuk diturunkan kualitasnya menjadi RON 88.
Caranya, mencampur bensin RON 92 dengan naphta, sehingga kadarnya turun menjadi RON 88. Namun, hal itu membuat harga Premium jadi tinggi.
Sebelum tahun 2015, Premium termasuk BBM bersubsidi, tetapi harga tinggi membuat biaya subsidi menjadi tinggi.
Maka, Tim Reformasi Migas ketika itu merekomendasikan agar bensin Premium diubah jadi RON 92 alias Pertamax.
Baca Juga: Ekonom: Harga BBM Harusnya Turun Jadi di Kisaran Rp4.500 Per Liter
Namun, Pertamina belum bisa menghapus Premium karena kilang-kilang Pertamina belum siap mengganti Premium dengan Pertamax.
Premium baru bisa dihapus setelah Pertamina menyelesaikan 4 proyek modifikasi kilang (Refinery Development Master Plan/RDMP) dan pembangunan 2 kilang baru (Grass Root Refinery/GRR).
Harga BBM Urung Turun
Selain berbicara mengenai penghapusan BBM berkadar rendah, Nicke Widyawati juga mengatakan terkait harga BBM saat ini yang tak kunjung turun.
Menurutnya, ada beberapa dampak jika Pertamina menurunkan harga BBM. Itu antara lain dengan memilih biaya produksi lebih rendah dengan meningkatkan impor minyak murah dan memangkas produksi, atau bahkan menutup sektor hulu migas.
"Tapi, kemudian kalau hulu migas ditutup, kilang-kilang ditutup, kita akan kembali lagi ke zaman dulu, tergantung dengan impor," kata Nicke.
Baca Juga: Pertama dalam Sejarah, Penjualan BBM Pertamina Merosot 50 Persen Lebih
Dengan ditutupnya kilang, maka tujuan pemerintah untuk menciptakan kemandirian energi tidak akan terealisasi.
"Bayangkan kalau kita hanya mengandalkan impor yang katanya di luar negeri itu murah," ujarnya.
"Oke kita andalkan impor, enggak usah kita memproduksi sendiri. Kalau ternyata negara tersebut terjadi lockdown enggak bisa mengirimkan BBMnya?".
Lebih lanjut, Nicke mengakui, harga minyak produksi dalam negeri sempat jauh lebih mahal ketimbang impor.
Namun, perlu ada perhitungan panjang untuk memutuskan meningkatkan impor demi menciptakan harga BBM yang lebih murah.
Baca Juga: Pertahankan Nicke Widyawati Jadi Dirut Pertamina, Erick Thohir: Saat Ini Pilihan yang Terbaik
"Waktu itu ketika harga minyak naik tiga bulan kita menunggu untuk menaikkan harga, tidak serta-merta," ujarnya.
Oleh karena itu, Nicke menekankan, masyarakat tidak dapat membandingkan secara langsung pergerakan harga BBM nasional dengan tetangga.
"Kecuali kalau kita memang ini trader ya trading company. Trading company mudah sih beli jual beli jual. Tapi, apa kabarnya dengan ketahanan dan kemandirian energi," ucap Nicke.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.