JAKARTA, KOMPAS TV - Anggota Komisi IX DPR RI, Obon Tabroni, angkat bicara terkait kebijakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Dia menilai kebijakan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 yang mengatur iuran BPJS Kesehatan tidak tepat.
Apalagi kenaikan iuran tersebut diterapkan di saat beban masyarakat semakin berat karena masa pandemi virus corona atau Covid-19.
"Saat ini sedang krisis. Banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Kok tega-teganya pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan," kata Obon melalui keterangan tertulis pada Rabu (13/5/2020).
Baca Juga: Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan akan Kembali Digugat ke Mahkamah Agung
Menurut Obon, kesehatan adalah hak rakyat baik kaya maupun miskin. Karena itu, seharusnya akses masyarakat untuk mendapat jaminan kesehatan mestinya dipermudah.
“Bukannya dipersulit dengan menaikkan iuran seperti ini. Masyarakat sedang susah,” ujar Politikus Partai Gerindra tersebut.
Apalagi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan baru beberapa bulan lalu dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Obon berpendapat, seharusnya pemerintah mengeluarkan perpres baru yang membatalkan kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, bukan malah menaikkan.
"Kenaikan ini sekaligus mencerminkan jika pemerintah tidak menghormati keputusan pengadilan yang bersifat inkracht,” kata Obon.
Baca Juga: Terungkap Alasan Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Pandemi
“Hal ini akan memberi contoh buruk. Bisa saja nantinya masyarakat tidak lagi menghargai putusan lembaga yudikatif yang seharusnya ditaati semua pihak, tanpa pandang bulu."
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai langkah Presiden Jokowi yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.
"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," kata Feri seperti dikutip Kompas.com, Rabu (13/5/2020).
Jokowi diketahui menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, pada akhir Februari 2020 MA membatalkan kenaikan tersebut.
Baca Juga: Sudah Dibatalkan MA, Pakar Hukum: Langkah Jokowi Tak Bisa Dibenarkan Naikkan Iuran BPJS Kesehatan
Karena telah diputuskan, maka Feri menilai, putusan MA tersebut bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden.
Hal itu tertuang dalam Undang-undang tentang MA dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman.
"Pasal 31 UU MA menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya dia tidak dapat digunakan lagi, termasuk tidak boleh dibuat lagi," ujar Feri.
Feri mengatakan bahwa putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 itu pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan.
Oleh karena itu, Feri menegaskan, langkah presiden menaikkan iuran BPJS Kesehatan tetap tidak dapat dibenarkan, sekalipun nominal iuran yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 sedikit berbeda dengan aturan sebelumnya.
Baca Juga: Mulai 1 Juli Iuran BPJS Kesehatan Resmi Berubah: Berikut Rincian Biaya Kelas I, II, dan III
"Seberapapun jumlah (kenaikan iuran)-nya, maka tidak benar kenaikan (iuran) BPJS," ujar Feri.
Justru, Feri menilai, Jokowi sengaja membuat bunyi Perpres Nomor 64 Tahun 2020 sedikit berbeda dari Perpres sebelumnya.
Ini merupakan sebagai dalih agar Perpres ini tidak dinilai bertentangan dengan putusan MA. Padahal, hal itu merupakan upaya penyelundupan hukum.
"Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," kata Feri.
Sebagai informasi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Baca Juga: Ketika Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Hanya Berlaku 3 Bulan
Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020). Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.
Adapun rinciannya iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000 dari sebelumnya Rp80.000. Kemudian, iuran peserta mandiri kelas II meningkat jadi Rp100.000 dari Rp51.000.
Terakhir, iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp16.500, sehingga yang dibayarkan peserta tetap Rp25.500 selama 2020.
Namun, pada 2021 mendatang subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta jadi Rp35.000.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.