KOMPAS.TV - Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menuai banyak polemik.
Betapa tidak, pasal-pasal dalam RUU Minerba dinilai hanya menguntungkan pengusaha tambang saja. Hal itu diakui Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Koordinator Jatam Merah Johansyah menyoroti sejumlah pasal dalam RUU Minerba yang dinilai sangat berpihak pada kepentingan elite korporasi.
Baca Juga: RUU Minerba Banyak Tuai Polemik, DPR Tetap Sahkan Jadi Undang-Undang
Salah satu pasal yang dipersoalkan terkait dengan jaminan perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.
"Perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah dan lelang merupakan fasilitas yang ditunggu-tunggu oleh perusahaan raksasa batu bara," ujar Merah Johansyah saat diskusi online bertajuk Menyikapi Pengesahan RUU Minerba, Rabu (13/5/2020).
Perpanjangan KK atau PKP2B
Menurutnya, setidaknya ada enam perusahaan raksasa yang masa kontraknya habis pada tahun ini dan tahun depan.
Johansyah mengatakan jaminan perpanjangan izin ini sangat dinanti oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
"Mereka ini diduga masih ingin terus menikmati kemewahan luas lahan, kemegahan produksi energi maut batubara dan fasilitas lainnya saat masih berada dalam sirkuit aturan rezim kontrak," kataya.
Mengenai jaminan perpanjangan izin operasi ini tertuang dalam RUU Minerba Pasal 169A.
Disebutkan, KK dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dengan beberapa syarat.
Pasal 169A huruf a berbunyi, "Kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama sepuluh tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan peneriman negara".
Pasal 169A huruf b menyebutkan, "Kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian untuk jangka waktu paling lama sepuluh tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara".
Selanjutnya, aturan mengenai perolehan IUPK tertuang dalam Pasal 169B.
Kemudian, ia menyoal penghapusan Pasal 165 dalam RUU Minerba. Pasal 165 sebelumnya mengatur bahwa setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK yang bertentangan dengan UU Minerba dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak dua ratus juta rupiah.
Baca Juga: [TOP 3 NEWS] Tambang Emas Longsor I Imbauan Tidak Ziarah I Update Corona
Wilayah Hukum Pertambangan
Berikutnya, Johansyah menyoroti konsep "wilayah hukum pertambangan" yang dimuat dalam RUU Minerba.
Dalam RUU Minerba, wilayah hukum pertambangan didefinisikan sebagai seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.
Menurut Johansyah, konsep ini akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran baik di darat maupun laut.
Ia mengatakan wilayah hukum pertambangan bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
"Adanya definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan, tetapi juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil," ucapnya.
Karena itu, ia menilai hampir keseluruhan RUU Minerba hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batuara.
Tak Bahas Dampak dan Kepentingan Rakyat
Johansyah mengatakan, revisi UU tidak menyinggung tentang dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat, dan perempuan.
"Penambahan, penghapusan, dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat, dan perempuan," ujarnya.
Menurutnya, pembahasan RUU Minerba tidak berdasarkan evaluasi atas daya rusak operasi pertambangan minerba yang selama ini terjadi.
Baca Juga: Pengesahan RUU Minerba Aneh, ICW Curiga Ada Kekuatan Besar Lobi Pemerintah dan DPR
Resentralisasi Korupsi
Kemudian pihaknya juga menyoroti tentang pengembalian kewenangan ke pemerintah pusat.
Merah Johansyah mengungkapkan, pengembalian kewenangan ini, atau ia sebutkan sebagai resentralisasi kewenangan, dikhawatirkan mempermudah praktik rente korupsi di pusat.
"Seluruh perizinan ditarik ke pemerintah pusat, diberikan ke daerah kalau ada delegasi kewenangan. Ini demi kepentingan mempermudah investasi dan mempermudah rente, praktik KKN-nya ada di pusat. Ini resentralisasi korupsi," tegas Merah Johansyah.
Resentralisasi kewenangan itu tercermin melalui perubahan pada Pasal 4, serta penghapusan Pasal 7 dan 8.
Pasal 4 ayat (2) dalam RUU Minerba kini berbunyi, penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Padahal, sebelumnya, pasal tersebut memberikan kewenangan untuk pemerintah daerah juga.
Dengan dihapusnya kalimat kewenangan untuk pemerintah daerah, maka Pasal 7 dan 8 dihapus dalam RUU Minerba.
Pasal 7 mengatur kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan minerba, sementara Pasal 8 mengatur kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Berikutnya, Pasal 35 juga direvisi dengan penambahan ayat yang menyebutkan, usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Baca Juga: Resmi! DPR Sahkan Perppu Penanganan Corona Menjadi Undang-Undang
Menurut Merah, efektivitas pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap pengelolaan pertambangan minerba menjadi soal dalam hal ini.
"Resentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan kapasitas pemerintah pusat dalam membina dan mengawasi. Serta abai terhadap kepentingan pemerintah daerah," tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.