JAKARTA, KOMPAS.TV – Oriental Circus Indonesia (OCI) buka suara terkait aduan mantan pemain sirkus mereka tentang dugaan eksploitasi dan kekerasan terhadap sejumlah mantan pemain sirkus.
Mengutip pemberitaan Kompas.com, Jumat (18/4/2025), founder OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, menjelaskan, awalnya OCI dibentuk untuk menghibur para prajurit.
“ABRI waktu itu butuh hiburan. Kostrad punya band, kita punya tim akrobat. Gabung jadi satu, lalu keliling ke berbagai daerah pakai pesawat Hercules, tampil di markas-markas militer, mulai dari Tasik sampai Jawa Tengah,” ujar Tony, saat jumpa pers, Kamis (17/4/2025).
Seiring berjalannya waktu, kata Tony, performa tim sirkus OCI dinilai tidak cukup maksimal, sehingga orang tua Tony mengajak sejumlah anak perempuan dari sebuah panti asuhan di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara untuk bergabung.
Baca Juga: Bareskrim Jadwalkan Pertemuan dengan Kementerian PPPA Bahas Eks Pemain Sirkus OCI Pekan Depan
“Anak-anak itu dari bayi dibesarkan, usia 6-7 tahun baru diajak bergabung dan mulai berlatih di sirkus,” tuturnya.
Ia mengakui bahwa pada era 1970-1980-an, OCI mendidik para pemainnya dengan cukup keras jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
“Tahun 70-80-an itu, dan memang ada tindakan disiplin untuk mendisiplinkan anak-anak. Waktu itu kita bisa bilang eranya keras lah ya,” jelasnya.
Namun, menurutnya, pendisiplinan yang keras adalah hal wajar jika melihat kultur sosial pada saat itu. Bahkan, ia menyebut dirinya merasakan hal serupa.
“Tapi kalau anak-anak itu malas, tidak mau keluar tenaga, kalau (dipukul) pakai rotan itu biasa (saat itu), dan kontekstual pada masa tahun itu, memang begitu itu kulturnya. Bukan cuma di sirkus saja.”
“Di luar sirkus pun kita di rumah pun mengalami gitu ya. Di sekolah juga gitu. Dipukul pakai rotan sama guru. Jadi kontekstual pendidikan memang ada ketika itu,” tambahnya.
Meski melakukan pendisiplinan keras, ia menyatakan pihaknya tidak melakukan praktik eksploitasi dan perbudakan kepada para pemain sirkus OCI.
“Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” jelasnya.
“Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya.
Mengenai pernyataan mantan pemain sirkus OCI yang mengaku mendapat penyiksaan, Tony menilai itu merupakan pernyataan sensasional yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
“Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” tegasnya.
Ia bahkan menduga ada pihak yang berusaha melakukan pemerasan kepadanya, tetapi karena OCI sudah tidak beroperasi lagi, maka tuntutan disuarakan kepada Taman Safari Indonesia.
“Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami,” tuturnya.
Meski demikian, pihaknya tidak berniat memperkarakan para mantan pemain sirkus, tetapi akan mengambil langkah hukum terhadap provokator yang memanfaatkan para mantan pemain sirkus.
“Kalau anak-anak, ya kasihan. Tapi kalau provokatornya, itu lain cerita. Kita sedang mengupayakan langkah hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka,” imbuhnya.
Pihaknya, lanjut Tony, juga telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp3,1 miliar.
“Kita memang tidak merespons, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” bebernya.
“Sebagian bukti sudah ada. Kalau mereka (anak-anak) yang kemarin itu, saya belum pernah ketemu lagi. Mungkin karena merasa malu setelah ramai bicara seperti ini,” ujarnya.
Sementara itu, Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia (TSI) Barata Mardikoesno menegaskan pihaknya tidak memiliki keterkaitan dengan persoalan ini.
“Langkah hukum ini nanti akan diambil oleh OCI. Taman Safari Indonesia tidak ada hubungannya dengan persoalan ini, bisnisnya memang terpisah,” kata Barata.
Barata juga menduga ada motif tertentu yang berusaha menyeret nama Taman Safari ke dalam polemik tersebut.
“Kenapa mereka mengincar TSI, kami juga tidak paham. Yang jelas, secara posisi hukum dan dokumen, TSI berdiri terpisah dari OCI. Jadi kalau ada langkah hukum, itu murni dari Pak Tony, bukan atas nama TSI,” jelasnya.
Sebelumnya, sejumlah mantan pekerja sirkus Oriental Circus Indoniesia (OCI) menyampaikan aduan mereka pada Wakil Menteri HAM Mugiyanto di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
“Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
“Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” bebernya.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI), Uli Parulian Sihombing, yang dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025), menyebut pada awal tahun ini pihaknya sempat menyarankan eks pemain sirkus OCI untuk menempuh jalur hukum.
“Pada 6 Januari 2025, Komisioner pengaduan Komnas HAM memberikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” kata Uli.
Baca Juga: Dugaan Pelanggaran HAM di Sirkus Oci, Komnas HAM: Pernah Diselidiki 1997, Dihentikan Polisi 1999
Saat itu, kata dia, Komnas HAM sudah melakukan identifikasi masalah dan mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI.
“Pelanggaran tersebut di antaranya, hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” ujarnya.
“Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan, dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” ungkapnya.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.