JAKARTA, KOMPAS.TV- Teka-teki keberadaan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) sempat mencuat setelah Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wirdateti, mengungkapkan temuan sehelai rambut si raja hutan itu di pagar pembatas antara kebun rakyat dengan jalan desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, Jawa Barat pada 2019 silam.
Padahal sejak 1980-an, Union for Conservation of Nature (IUCN) sudah memasukkan ke dalam daftar merah. Penampakan terakhir Harimau Jawa terkonfirmasi di Meru Betiri Taman Nasional, Jawa Timur pada 1976. Sementara saat ini, hanya Harimau Sumatera (P. tigris sumatrae) yang masih tersisa di Indonesia.
Rambut Harimau Jawa yang ditemukan di Cipeundeuy itu, ditemukan oleh Kalih Reksasewu atas laporan Ripi Yanuar Fajar yang berpapasan dengan hewan mirip Harimau Jawa yang dikabarkan telah punah, pada malam hari 19 Agustus 2019. Ripi adalah seorang penduduk lokal yang berdomisili di desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, Jawa Barat,” tutur Peneliti yang akrab disapa Teti dikutip dari lama BRIN.
Dari serangkaian analisis DNA komprehensif yang telah dilakukan, Teti dan tim menyimpulkan sampel rambut harimau yang ditemukan di Sukabumi Selatan adalah spesies Panthera tigris sondaica atau Harimau Jawa. Termasuk dalam kelompok yang sama dengan spesimen Harimau Jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) pada 1930.
Baca Juga: Kejadian Langka, Harimau Sumatra Ikuti 40 Warga hingga Batas Kampung di Pasaman
Menurut Teti, keyakinan tersebut diperkuat oleh prosedur ilmiah lainnya yang telah dilakukan. Selain menemukan rambut, dari lokasi tersebut juga ditemukan bekas cakaran mirip harimau yang semakin menguatkan Teti untuk melakukan observasi lanjutan.
Namun, salah satu Majelis Perwalian Amanah Forum Konservasi Macan Tutul jawa (Formata) Hariyo T Wibisono mengungkapkan Harimau jawa tidak mungkin masih ada dengan kondisi ekologis saat ini.
"Tidak, tidak ada. Dia kan secara ekologis enggak mungkin, gak mungkin ada. Jawa ini hutannya sudah terlalu sempit (untuk Harimau jawa)," kata Hariyo di Bandung, Kamis (17/4/2025), terkait banyak laporan penampakan satwa yang dinyatakan punah sekitar 1980-an itu, dikutip dari Antara.
Satu ekor harimau, kata Hariyo, membutuhkan ruang hidup 40 sampai 300 kilometer persegi, sehingga di Pulau Jawa tidak mungkin lagi untuk menjadi habitat Harimau jawa.
Padahal, telah banyak kamera jebak dipasang, namun tidak pernah ada video yang menunjukkan satwa tersebut di alam liar.
Bahkan di Taman Nasional Ujung Kulon saja, yang hampir 60 persen tercover oleh kamera jebak yang dipasang selama lima tahun, tidak pernah terlihat sosok satwa penguasa hutan Jawa ini satupun.
Hal ini semakin meyakinkannya sudah tidak ada lagi harimau jawa hidup di belantara Pulau Jawa, terlebih taman nasional lain juga tidak mendukung untuk habitat harimau jawa, bahkan cenderung lebih sempit.
Sementara untuk jejak-jejak yang bisa menjadi acuan terkait keberadaan satwa tersebut, menurut dia harus ada lebih dari satu, semisal scent marking (tanda bau) dari air seni dan feses baik di tanah atau pohon, kemudian scrap mark (tanda cakaran) di pohon atau batu.
Baca Juga: Cerita WNI Jadi Pahlawan di Kebakaran Hutan Korea Selatan, Ini yang Bakal Diberikan Seoul
"Harimau atau macan tutul itu enggak mungkin meninggalkan single sign atau tanda tunggal. Setidaknya kalau ketemu kita cari di daerah sekitarnya misal 1-2 km persegi, itu pasti ada tanda yang lain, tanda penuh, enggak mungkin hanya satu. Masa dia meninggalkan bulu kemudian terbang," ucapnya.
Soal penemuan jejak atau tanda yang muncul selama ini tidak terkonfirmasi merupakan satwa Harimau jawa namun kebanyakan merupakan Macan Tutul jawa.
Diburu Dianggap Musuh
Harimau Jawa dipastikan pernah merajai hutan-hutan di Pulau Jawa. Catatan dari naturalis Swedia bernama Pehr Osbeck yang sempat berlabuh di pesisir Ujung Kulon, Jawa bagian barat pada tanggal 19 Januari 1752, mencatat bahwa saat berjalan dari pantai ke pedalaman, ia menemukan hutan yang sangat lebat, basah, dan berbahaya karena banyaknya harimau dan karnivora lainnya.
Dikutip dari Kompas.com, Sijfert Hendrik Koorders yang menjadi presiden pertama “Nederlandsch Indische Vereeninging voor Natuurbescherming” (Masyarakat Konservasi Alam di Hindia Belanda) saat mengunjungi Ujung Kulon dari tanggal 25 Juni hingga 6 Agustus 1892 menyebutkan bahwa semenanjung itu tertutup hutan primer dan tidak ada manusia. Namun ia menemukan banyak jejak badak, rusa, harimau, dan banteng.
Penulis asal Belanda, W. Baerveldt menyebut bahwa hutan di Jawa dianggap sebagai tempat yang angker atau wingit dan dijaga oleh harimau, sehingga manusia enggan memasukinya.
Menurut Peter Boomgaard dalam buku "Frontiers of Fear - Tigers and People in the Malay World, 1600-1950", harimau ada dimana-mana ketika Belanda masuk ke Jawa. Perkembangan kota seperti Batavia yang mengikis habitat harimau, membuat gesekan antara karnivora itu dengan manusia tidak terhindarkan. Dalam catatannya, pada tahun 1624, harimau membunuh sekitar 60 orang di Batavia.
Namun, saat manusia mulai merambah hutan untuk membuka perkebunan dan perumahan, harimau pun mulai terdesak. Semenjak itu, manusia mengangap si kucing besar itu sebagai musuh. Konflik manusia dan harimau tak terhindarkan. Banyak cerita manusia tewas diterkam harimau seperti juga banyak berita matinya harimau karena diburu manusia.
Pembukaan lahan perkebunan di zaman kolonial memperlihatkan pertarungan "tak seimbang" antara manusia dan harimau. Harimau diburu dengan berbagai cara, bahkan diberi iming-iming hadiah.
Dalam catatan koran Belanda "Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie" terbitan 04-12-1903, sampai dengan awal tahun 1900-an pemerintah Hindia Belanda menyediakan hadiah untuk masyarakat yang berhasil membunuh atau menangkap Harimau Jawa, dengan imbalan 400 Franc hingga 1.500 Franc, ada juga yang menyebut 10 hingga 50 gulden.
Tanggal 27-01-1910 koran Belanda memuat berita setidaknya ada 15 Harimau Jawa telah dibunuh. Ini menyebabkan harimau makin tersingkir dan makin sedikit jumlahnya.
Pada awal tahun 1900-an perang antara harimau dan manusia di Jawa bisa disebut berakhir setelah harimau habis dan makin terpojok. Umumnya serangan harimau terjadi karena adanya bencana, di mana banyak orang meninggal. Jasad orang yang meninggal menggiurkan harimau untuk memakannya. Setelah persediaan habis, harimau yang terbiasa makan manusia, mulai mencari yang masih hidup, yang menyebabkan "wabah harimau".
Memasuki abad kemerdekaan, Harimau Jawa benar-benar tak sanggup lagi bertahan.
Pada tahun 1976, sekelompok peneliti melaporkan jejak yang diduga milik Harimau Jawa di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Salah seorang warga lokal bernama Surono mengaku melihat seekor harimau melintas cepat di antara semak-semak. Namun, laporan tersebut tidak pernah dikonfirmasi secara ilmiah. Hingga akhirnya, kisah perjumpaan dengan hewan itu pun makin tak terdengar
Di sisi lain, luas hutan Pulau Jawa yang makin menyempit membuat Harimau Jawa tidak lagi punya rumah bernaung. Pada 2021 saja, data menyebutkan luas kawasan hutan di Pulau Jawa semakin mengecil hanya 24 persen dari luas pulau tersebut sekitar yakni 128.297 km2.
Dari sekitar 24 persen kawasan hutan di Pulau Jawa, itu tutupan hutannya hanya sekitar 19 persen, sedangkan lima persen lainnya, di antaranya berupa kebun raya dan taman kehati, yang memiliki fungsi seperti hutan.
Bisa dimengerti bila si raja hutan itu punah, kalah bersaing dengan rakusnya manusia.
Seperti didendangkan Iwan Fals dalam lagu "Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi"
Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Tanpa HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu?
Oh, mengapa?
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV, Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.