JAKARTA, KOMPAS.TV - Seorang keponakan berinisial RF (28) tega membunuh tantenya, EL (59), di salah satu perumahan di daerah Tanah Sareal, Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025). Diketahui, EL sudah mengasuh keponakannya itu sejak RF masih usia 15 tahun.
Kronologinya, tantenya meminta keponakannya untuk cuci piring, lantas terjadi cekcok dan berakhir sang keponakan memukuli tantenya hingga meninggal dunia.
Setelah meninggalnya korban, pelaku sempat mengirimkan pesan kepada teman-temannya, mengaku telah membunuh tantenya dan mengirim foto kondisi korban usai kejadian.
Pelaku juga sempat melapor kepada pihak sekuriti perumahan setelah membunuh korban.
Lantas, bagaimana pandangan psikolog terhadap kejadian ini?
Psikolog dan Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) Nia Kusuma Wardhani menyampaikan pandangannya terkait kasus keponakan yang tega membunuh tantenya ini.
"Kemungkinan tidak munculnya bonding sehingga satu sama lain tidak memahami bagaimana kondisi masing-masing yang saat itu terjadi," tanggap Nia melalui sambungan telepon, Rabu (9/4/2025) malam.
Baca Juga: Kronologi Keponakan Tega Bunuh Tantenya di Bogor, Sempat Terjadi Cekcok
Kemudian, terkait dengan pengakuan pelaku pada teman-temannya dan sekuriti setelah terjadinya pembunuhan, Nia memandang, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
"Pertama, dia menginformasikan ke teman-temannya. Jadi ini adalah sebuah pengakuan sosial yang dia butuhkan dan dorongan untuk menunjukkan apa yang sudah dia lakukan agar mendapatkan penilaian dari lingkungannya," tuturnya.
Nia melanjutkan dengan menyebutkan kemungkinan kedua yang dapat terjadi pada pelaku.
"Yang kedua, dia juga melaporkan, ada perasaan sadar, itu baru muncul setelah itu terjadi, ada proses kognisi, ada proses berpikir yang dia lakukan, sehingga setelah ini apa (yang akan dilakukan), akhirnya dia menyerahkan diri ke sekuriti," lanjutnya.
Selain itu, pelaku sudah berusia 28 tahun, di mana seharusnya mempunyai kematangan emosi dan kematangan berpikir sebelum melakukan tindakan. Namun, pelaku justru berakhir membunuh tantenya setelah terlibat cekcok.
Di usia dewasa awal pelaku ini, menurut Nia, dimungkinkan ada perkembangan emosi yang belum atau tidak matang akibat pola asuh.
"Di usia ini harusnya dia sudah tahu apa yang dia lakukan, dampaknya apa, konsekuensinya apa, tetapi dengan kondisi emosi yang masih labil, dengan usia yang sebenarnya sudah 28, ada kemungkinan pola asuh yang tidak tepat atau tidak sesuai," papar Nia.
Baca Juga: Fakta-Fakta Keponakan Tega Bunuh Tante di Bogor: Pelaku Kesal Disuruh Cuci Piring
Menurut penjelasannya, pola asuh yang tidak tepat dapat membuat kondisi emosi anak sangat cepat terpancing dan sangat cepat merespons kemarahan. Ia mencontohkan dengan pola asuh abusive (kasar) atau dominan.
"Pola asuh yang abusive membuat anak itu mengalami tekanan emosional dan tiba-tiba muncul dalam kondisi yang menekan dia, sehingga reaksi yang spontan itu akhirnya menyakiti orang lain," terang Nia.
Hal serupa bisa terjadi akibat pola asuh dominan, di mana orang tua meminta anak untuk mengikuti keinginan dan perintah orang tua.
"Ini bisa menyebabkan anak merasa direndahkan karena dipaksa untuk mengikuti kemauan orang yang lebih tua," jelas Nia.
Menurutnya, pola asuh yang sehat dan ideal adalah dengan adanya keterbukaan dan komunikasi.
"Anak mampu menyampaikan argumennya secara terbuka, idealnya anak itu mau bercerita, dari situ orang tua bisa memahami," katanya.
Baca Juga: Aksi Solidaritas Tuntut Kasus Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL Diusut Tuntas
Nia menyarankan agar orang tua tidak memaksakan apa yang ingin dilakukan oleh orang tua kepada anak.
Orang tua juga sebaiknya terbuka dengan apa yang dirasakan, kesulitan dan tantangan apa yang dihadapi.
"Sehingga anak itu juga belajar memahami dan mengerti posisi orang tua seperti apa," tuturnya.
Nia juga menekankan, pola komunikasi yang sehat antara orang tua dan anak tidak bisa dilakukan secara instan.
"Perlu keterbukaan, kesadaran, dan komunikasi yang terjalin secara dua arah antara orang tua dan anak," ucapnya.
Dengan komunikasi dua arah, orang tua dan anak bisa sama-sama saling memahami.
"Orang tua bisa merespons anak dengan tepat, begitu juga dengan anak, anak itu bisa merespons orang tua dengan tepat," tambahnya.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.