JAKARTA, KOMPAS.TV - Suasana Klenteng Boen Tek Bio di Tangerang, Banten, seolah tak mengenal jeda menjelang Imlek, yang akan jatuh pada 29 Januari 2025.
Orang-orang keluar masuk untuk sembahyang dan membakar hio. Sementara para pedagang yang berada di sekeliling klenteng tertua di Tangerang itu, terlihat sibuk melayani para pembeli.
Angpau, lampion merah menyala, kue keranjang, ikan, sayuran, dan pernak-pernik mainan Imlek seperti barongsai, tampak saling berimpitan.
"Klenteng buka 24 jam sampai Imlek." kata Ali, penduduk Pasar Lama, yang berada di Sukasari, Kota Tangerang saat berbincang dengan Kompas.tv, Minggu (19/1/2025).
Kemeriahan pun masih akan dilanjutkan dengan Cap Go Meh, dua pekan setelah Imlek.
"Nanti banyak permainan di sini. Rame," lanjut Ali, yang sudah bertempat tinggal di Pasar Lama sejak zaman nenek moyangnya.
Ali adalah bagian dari warga Tionghoa peranakan Pasar lama, yang sering disebut Cina Benteng atau disingkat Ciben. Menurut Ali, sejak lama penduduk Pasar Lama memang berdagang. Ibunya pun pedagang kain di sana.
Penduduk Cina Benteng, kata Ali, berusaha melestarikan tradisi Imlek nenek moyang mereka. Selain Imlek dan Cap Go Meh, ada juga tradisi Peh Cun atau perahu naga yang digelar setahun sekali.
Acara perahu naga digelar di Kali Cisadane, tak jauh dari Pasar Lama. Meski mereka warga keturunan, namun tak akan terdengar dialek Tionghoa di lidah mereka.
"Kita ini dialek campuran, ada Betawi sama Sunda," katanya.
Wajah warga Tionghoa di Pasar Lama pun tidak terlihat seperti keturunan Cina.
Baca Juga: 6 Tradisi agar Mendapatkan Keberuntungan di Tahun Baru Imlek 2025 yang Wajib Dicoba
Pia, perempuan berkerudung yang sudah 13 tahun jualan susu kedelai dan liang teh di Pasar Lama, berkulit sawo matang.
"Nenek saya Cina Sewan," katanya mengenang sang nenek yang sudah tiada.
Sewan adalah kawasan di Tangerang yang terletak tak jauh dari Bandara Soekarno-Hatta. Di sana, tinggal komunitas Tionghoa Tangerang.
Ketika masih kecil, Pia sempat bertemu dengan sang nenek yang menurutnya, masih terlihat berwajah Tionghoa.
Pasar Lama bagi Pia merupakan tempatnya mencari penghidupan dan berinteraksi dengan warga. Apalagi sebagian barang yang dijual juga didatangkan dari "kota", istilah yang merujuk pada kawasan di luar pasar.
Penjual kembang di sana, misalnya, sebagian besar membeli bunga dari Pasar Kembang Rawa Belong, Jakarta Barat. Begitu pula dengan ikan dan sayuran.
Tidak heran bila Pasar Lama kemudian makin dikenal tidak hanya sebagai warisan budaya Tangerang, tetapi juga tempat berinteraksi warga terutama di sore hari.
Setiap sore, ada pasar kuliner di sepanjang jalan utama. Menurut penuturan Pia, pasar kuliner mulai ramai setelah pandemi Covid-19 mereda.
"Mungkin banyak pengangguran, jadi banyak yang jualan," ujarnya.
Padahal sebelum pandemi Covid, pasar kuliner biasanya hanya diadakan sekali atau dua kali dalam sebulan. Pasar kuliner dibuka setiap sore hingga malam hari. Dan akan makin ramai menjelang Imlek nanti.
Menurut Pia, hubungan antarmasyarakat di Pasar Lama terjalin harmonis tanpa melihat perbedaan suku dan agama. Seingat dia, ketika terjadi konflik di kota-kota lain yang melibatkan warga Tionghoa, dampaknya di Pasar Lama nyaris tidak terasa.
"Dulu waktu tahun 1998 memang ada toko-toko tutup. Ya nggak ada bakar-bakaran," kenangnya.
Apalagi di sebelah pasar terdapat Masjid Agung Al-Ittihad yang besar.
Di kawasan Pasar Lama pula akan ditemukan sejumlah bangunan tua seperti Reombeor alias rumah burung. Bangunan itu dulunya rumah yang kemudian dijadikan sarang burung walet.
Bangunan tua namun masih terlihat kokoh itu terlihat anggun dengan ciri khas Tionghoa dan kolonial Belanda. Persis di depan Roemboer terdapat rumah milik Oey Kim Tiang alias OKT, penulis dan penerjemah cerita-cerita Tionghoa lama.
Bangunan itu masih tampak asli, dan tertera papan nama si pemilik rumah. Salah satu kisah dari tanah Tiongkok yang pernah dialihbahasakan OKT adalah Sam Pek Eng Tay, yang pernah dipentaskan oleh Teater Koma dengan judul yang sama.
Sebagian sejarawan menyebut warga Cina Benteng merupakan salah satu komunitas peranakan tertua di Indonesia.
Ada yang menyebut leluhur mereka tiba di Kali Cisadane pada 1407. Mereka dipimpin Dhen Ci Lung, yang disebut bagian dari rombongan armada Cheng Ho (Zheng He), laksamana Tiongkok yang pernah melakukan tujuh kali pelayaran dengan membawa 300 kapal kayu serta pengikut sekitar 30.000 orang pada era dinasti Ming dari tahun 1405 hingga 1433.
Baca Juga: Rayakan Momen Imlek dengan Wisata Kuliner di Pasar Lama Tangerang, Simak Aneka Menunya di Sini
Setelah menetap, para pengikut Cheng Ho kemudian menikah dengan penduduk setempat yang tidak lain orang Sunda Banten, Betawi, dan sebagian Melayu. Keturunan-keturunan mereka kemudian menjadi warga Tionghoa Peranakan.
Menurut Leo Suyadinata dalam bukunya "Dilema Minoritas Tionghoa" (Penerbit Grafitipers, 1984), orang Tionghoa yang datang ke Jawa biasanya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan warga setempat.
"Lama kelamaan keturunan mereka membentuk masyarakat yang mantap," tulisnya.
Para kaum peranakan kemudian kehilangan kemampuan berbicara dalam bahasa Tionghoa.
"Kaum peranakan lalu kehilangan kelancaran berbahasa Cina yang aktif. Tetapi masih mudah dibedakan dari orang pribumi," tulis Leo.
Sebagian besar pekerjaan yang digeluti para peranakan Tionghoa adalah berniaga atau dagang.
Kemeriahan Imlek dan masyarakat Pasar Lama makin lengkap karena dilintasi Kali Cisadane. Kali sepanjang 126 kilometer yang melintasi Sukabumi, Kabupaten Bogor hingga bermuara ke Laut Jawa ini, salah satu yang terbesar dan terpanjang di Jawa Barat dan Banten.
Di sepanjang pinggiran kali ditanami pepohonan yang membuat teduh apalagi saat angin bertiup lembut. Sejumlah pedagang kaki lima menggelar dagangan di sana, terutama makanan dan minuman.
Salah satu makanan khas Cina Benteng yang dijual yaitu laksa, makanan yang terbuat dari mi yang disiram kuah kuning. Terkadang ditambah telur atau ayam.
Tampak pula jembatan penghubung yang kokoh dilintasi kendaraan roda dua dan roda empat. Sesekali terlihat perahu kecil melintasi sungai.
Para pemancing pun asyik melempar jorannya, mencari peruntungan baung, ikan khas Kali Cisadane. Sekilas mirip ikan patin, namun ikan baung lebih pendek dan kepalanya lebih besar.
Saat hari beranjak petang, suasana semakin ramai. Di sepanjang tepi Cisadane, orang-orang duduk lesehan sambil menikmati makanan, sementara Pasar Lama tak kalah meriah.
Kepulan asap penjual sate dan bakso menebarkan aroma makanan yang akrab di lidah warga, di antara kerlap-kerlip lampu yang dipasang di sepanjang pasar. Ramai, berdesakan namun tetap harmonis.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.