Menurut Wihadi, jika Presiden Prabowo tidak melaksanakan UU HPP tersebut, bisa muncul anggapan bahwa presiden melanggar undang-undang.
“Maka undang-undang ini harus dijalankan. Kalau tidak dijalankan, maka Presiden bisa dianggap melanggar undang-undang,” tegasnya.
“Itu bisa juga menjadi pelanggaran Presiden karena tidak menjalankan undang-undang, bisa juga menjadi bola liar yang mungkin dikatakan bahwa Presiden melanggar undang-undang.”
Oleh sebab itu, lanjut dia, Presiden telah memberikan solusi, yakni dengan memberlakukan PPN 12 persen hanya untuk barang-barang mewah.
Namun, ia menyayangkan pernyataan politikus PDIP Rieke Dyah Pitaloka yang menyebut seakan-akan PPN 12 persen ini bisa diturunkan hingga lima persen atau dalam rentang 5 hingga 15 persen.
“Rieke mengatakan pemerintah bisa menurunkan antara 5 sampai 15 (persen), bisa menurunkan dan membatalkan. Tapi itu kan pembohongan publik yang dilakukan. Pada saat paripurna, itu hanya Pasal 7 ayat 3 yang dibaca, ayat 4 tidak dibaca.”
Baca Juga: Gerindra Heran PDIP Kritik PPN 12 Persen: Padahal Mereka Ketua Panja
“Ayat 4 adalah bahwa rentang 5 dan 15 itu bisa dipakai itu adalah kesepakatan pemerintah dan DPR, dan pemerintah membuat suatu PP untuk penyusunan RAPBN,” jelasnya.
Ia menambahkan, RAPBN pemerintahan Presiden Prabowo untuk tahun 2025 sudah diketuk atau disetujui pada masa pemerintahan Jokowi.
“Permasalahannya saat ini, tahun 2025, pemerintahan Pak Prabowo itu mendapatkan RAPBN yang sudah diketok pada zaman Pak Jokowi. Bagaimana kita bisa mengulang lagi RAPBN pada saaat 2025 yang sudah berjalan?!”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.