Mereka menilai, Pansel diduga kuat memilih calon yang memiliki kedekatan personal dengan Jokowi.
"Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya nama yang secara rekam jejak dinilai cukup baik dan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi justru dipenggal dalam proses seleksi awal. Pansel justru meloloskan nama-nama yang jelas-jelas memiliki rekam jejak buruk," kata Julius Ibrani dari PBHI, Kamis.
Sementara Komisi III DPR, menurut pihaknya, memilih calon dengan latar belakang bermasalah yang dekat dengan kepentingan politik.
"Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa proses seleksi ini sudah cacat sejak awal," ucapnya.
Baca Juga: Anggota Komisi III DPR: Pimpinan KPK Periode 2024-2029 Harus Bisa Kembalikan Kepercayaan Publik
Melihat hal itu, pihaknya pun menilai proses seleksi terkesan sekadar formalitas belaka.
"Seleksi wawancara yang dilakukan oleh Pansel maupun Fit and Proper Test di Komisi III DPR tidak menggali lebih dalam kepada calon terkait mulai dari tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan, harta kekayaan yang mengalami fluktuasi tidak wajar, nir integritas dan potensi benturan konflik kepentingan, hingga langkah konkrit dalam upaya membenahi kelembagaan KPK pasca Revisi UU KPK 2019," tegasnya.
"Komisi III DPR memilih calon dengan latar belakang bermasalah yang dekat dengan kepentingan politik. Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa proses seleksi ini sudah cacat sejak awal," ujarnya.
Adapun salah satu pimpinan KPK terpilih yang dinilai memiliki rekam jejak buruk, yakni Johanis Tanak.
Wakil Ketua KPK tersebut diduga melanggar kode etik karena pertemuan dengan tersangka kasus suap penangkapan perkara di Mahkamah Agung yakni mantan Komisaris PT Wika Beton, Tbk. pada 28 Juli 2023.
"Selain itu, dalam paparannya saat Fit and Proper Test, Johanis Tanak menegaskan akan menghapus OTT KPK karena dianggap tidak sesuai dengan aturan KUHP yang berlaku, ucapnya.
Terkait itu, Koalisi menilai Johanis Tanak tidak mampu mengukur efektivitas dan persentase keberhasilan pemberantasan korupsi melalui OTT, atau niat menghapus OTT karena adanya transaksi politik dengan seseorang atau kelompok tertentu.
"Sehingga menjadikan KPK sebagai lembaga yang mati suri dalam menjalankan mandatnya sebagai pemberantas korupsi," ucapnya.
Julius menambahkan, komposisi Komisioner KPK periode 2024-2029 yang didominasi oleh penegak hukum menjadi tantangan untuk mengaktifkan kembali fungsi trigger mechanism KPK.
"Semangat ini muncul ketika Kejaksaan dan Kepolisian dianggap belum cukup efektif dalam pemberantasan korupsi, faktanya, calon yang dipilih oleh DPR adalah mereka dengan rekam jejak Kejaksaan dan Kepolisian yang juga tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi di lembaga sebelumnya," jelasnya.
"Bahkan, Kejaksaan dan Polri menjadi lembaga yang paling banyak melakukan korupsi," sambungnya.
Dalam kesempatan tersebut, pihaknya juga menyayangkan sikap abai Komisi III DPR terhadap catatan rekam jejak calon pimpinan dan dewan pengawas KPK yang dikirim oleh koalisi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.