“Sudah belasan tahun, RUU Masyarakat Adat tertahan karena tidak ada iktikad baik dari negara. Karena itu, kami meyakinkan diri kalau Presiden Prabowo, punya iktikad ini,” ujar Fahmi.
Sementara perwakilan Dewan AMAN Nasional Deftri Hardianto mengatakan mandat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012 terkait hak atas wilayah adat yang dijalankan pemerintah, masih sangat jauh dari harapan.
Baca Juga: Masyarakat Adat Awyu dan Moi di Papua Lawan Korporasi Sawit, Bagaimana Duduk Perkaranya?
Menurut AMAN Bengkulu, kebijakan lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru mencapai 75.783 hektare untuk pengembalian hutan adat.
Sedangkan penetapan tanah ulayat oleh Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional sejak Indonesia merdeka, baru sebanyak 20.000 hektare.
“Ini bukti bahwa pemerintah masih setengah hati menjalankan mandat konstitusi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi masyarakat adat,” kata Deftri.
Di sisi lain, kata Deftri, pemerintah dan DPR justru memproduksi kebijakan yang merugikan posisi masyarakat adat lewat Undang-Undang (UU) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
“Bukannya mengkoreksi terhadap penataan ulang kawasan konservasi. Malah makin memperkuat sentralisasi lewat penunjukan dan penetapan kawasan konservasi tanpa memperhatikan para penunggu di wilayah adat,” kata Deftri.
Menurut data AMAN, paling sedikit 1,6 juta hektare wilayah adat masih tumpang tindih dengan kawasan konservasi. Bahkan jika merujuk pada laporan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), setidaknya ada seluas 4,5 juta hektare wilayah adat tumpang tindih di kawasan konservasi.
"Dengan rincian yang 2,9 juta ha di antaranya berada di dalam Taman Nasional, dan 6.200 desa berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi," kata Deftri.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.