Sebagai contoh, pada tahun 2014-2015 Provinsi Riau yang menjadi daerah rawan karhutla mengalami kenaikan hotspot pada bulan Februari-Maret dan mencapai puncaknya pada Juli, Agustus, dan September.
Namun seiring dengan masifnya OMC pada musim transisi kemarau, pada tahun 2019, puncak hotspot di Riau baru terjadi pada September dengan jumlah titik yang melandai.
Untuk diketahui, Provinsi Riau menjadi salah satu lokasi rawan karhutla dari tahun ke tahun dan masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan luas area lahan karhutla terbesar.
Pada 2009, luasan lahan yang terbakar di Riau adalah 120,504 hektare, 183,809 hektare pada 2015, 90,550 hektare pada 2019, dan menurun signifikan pada 2023 yaitu 7,267 hektare.
"Hotspot di Provinsi Riau berkurang 93,9% pada tahun 2023 jika dibandingkan tahun 2019," jelas Dwikorita.
Penurunan jumlah hotspot juga terjadi di Kalimantan. Di mana kenaikan hotspot yang biasa terjadi pada Agustus kini melambat menjadi September bahkan Oktober.
Sebagai contoh, Kalimantan Tengah pada 2009 luasan area yang terbakar yaitu 247,942 hektare, 583, 833 hektare pada 2015, menurun menjadi 317,749 hektare pada 2019, dan 165,896 hektare pada 2023.
Penurunan ini sangat signifikan di tengah kondisi Indonesia yang dilanda El Nino pada 2019 dan 2023 yang menyebabkan kemarau lebih kering dan panjang dari biasanya.
"Ini mengindikasikan OMC berhasil menekan laju kenaikan hotspot pada dua pulau langganan karhutla. Adanya delay lonjakan hotspot mengindikasikan periode kekeringan yang berhasil dipersingkat," ujarnya.
Dengan demikian, Dwikorita melihat periode kekeringan yang menjadi sumber pemicu tingginya lonjakan hotspot berhasil dipersingkat karena pada saat periode transisi ke musim kemarau, gambut sudah lebih basah.
Air-air yang berhasil disimpan pada kubah gambut juga bisa digunakan untuk water bombing bilamana karhutla terjadi.
Hal yang paling penting, dengan basahnya lahan gambut maka kemungkinan besar oknum masyarakat yang melakukan pembakaran secara illegal pun akan kesulitan karena gambut dalam kondisi basah.
Sementara itu, Plt. Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menjelaskan, area karhutla di Indonesia pada tahun 2023 menurun hingga 29,6% jika dibandingkan 2019.
Serta, emisi karbon yang berhasil diturunkan akibat kebakaran hutan pada tahun 2023 mencapai 70,7% dibandingkan tahun 2019.
Seto menjelaskan gambut yang terbakar tidak hanya di permukaan saja namun hingga ke dalam.
Sehingga ketika gambut terbakar semakin dalam maka asapnya akan semakin pekat dan menimbulkan emisi karbon yang banyak dan memiliki dampak besar seperti mempercepat laju perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan memperburuk kesehatan manusia.
"Tetapi paling tidak kalau gambutnya dibasahi maka eskalasi kebakaran mampu dikurangi intensitasnya dan emisi karbonnya pun jauh lebih berkurang dibandingkan tahun 2019, ini tentu sangat berkontribusi positif untuk upaya komitmen pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim bahwa kita mengurangi emisi karbon," kata Seto.
"Selama kegiatan OMC berlangsung penyemaian awan dilakukan pada daerah yang berpotensi menyebabkan hujan di area pembangunan infrastruktur penunjang IKN. Penyemaian awan diprioritaskan pada daerah upwind dengan tujuan awan hujan tidak masuk ke daerah target," jelas Seto.
Baca Juga: Peringatan Dini BMKG Senin 22 Juli: 9 Wilayah Waspada Cuaca Esktrem Hujan Petir dan Angin Kencang
Sumber : Kompas TV, BMKG
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.