JAKARTA, KOMPAS.TV - Politikus Partai Demokrat Herman Khaeron mewanti-wanti agar program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera, tidak seperti program sejenis yang berakhir menjadi ladang korupsi.
Herman menyinggung kasus korupsi di dua perusahaan asuransi jaminan hari tua milik pemerintah yaitu Asabri dan Jiwasraya.
Dana asuransi hari tua dan pensiun di dua perusahaan itu dikumpulkan dari para pekerja, baik TNI, PNS dan masyarakat.
"Jangan sampai kasus-kasus proyek seperti sebelumnya, kita ingat, Jiwasraya, dana pensiun Asabri, Taspen yang semuanya itu juga sebagai bagian dana publik," kata Herman dalam acara diskusi "Menakar Untung Rugi Tapera" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/5/2024).
Maka, kata dia, urusan transparansi menjadi nomor satu.
"Harus dicarikan bagaimana pengumpulan dana publik harus dilakukan secara transparan, akuntabel dan kapabel," katanya.
Baca Juga: Kemenaker Akui Pemerintah Belum Sosialisasikan Tapera secara Masif
Sementara pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai Tapera menimbulkan pertanyaan besar di benak publik. Lagi-lagi terkait kekhawatiran dana akan dikorupsi.
"Sekarang pertanyaannya, seperti apa perencanaannya. Sekarang apa yang terjadi dalam Tapera ini?" kata Trubus.
Tapera mendapat penolakan masyarakat karena para pekerja diwajibkan membayar iuran yang akan masuk ke dalam rekening simpanan Tapera.
Iuran Tapera sebesar 3 persen, dengan rincian 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja. Sementara untuk pekerja mandiri sebesar 3 persen dan ditanggung sendiri.
Baca Juga: Tapera Ditolak Pekerja yang Sudah dan Belum Punya Rumah: Perbanyak Rumah Subsidi, Mudahkan KPR
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2024.
Menanggapi banyaknya penolakan dari masyarakat, Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho buka suara.
Heru mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia masih menghadapi angka kesenjangan kepemilikan rumah yang masih tinggi.
"Data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2023 hanya 9,95 juta, ya, sementara pertumbuhan keluarga tiap tahunnya 700 ribu hingga 800 ribu per tahun, itu harus jadi pertimbangan. Nah, di 9,95 juta angka kesenjangan itu, 84 persennya ada di kluster masyarakat berpenghasilan rendah," kata Heru dalam Kompas Bisnis yang ditayangkan Kompas TV, Kamis (30/5/2024).
Baca Juga: Moeldoko Sebut Tapera Tidak Akan Ditunda: Wong Belum Dijalankan!
Selain itu, menurut data yang ia peroleh, angka indeks keterjangkauan kredensial bisa dikatakan ideal apabila harga rumah tiga kali penghasilan rumah tangga dalam setahun untuk satu warga negara atau satu keluarga.
"Saat ini di banyak provinsi, yang provinsinya padat, indeks keterjangkauan kredensialnya itu masih jauh di atas tiga, di atas 5 bahkan, sehingga kategori sangat tidak terjangkau," lanjut Heru.
Oleh karena itu, menurutnya, BP Tapera adalah cara negara hadir untuk mengatasi kesenjangan kepemilikan rumah dan agar masyarakat bisa memiliki tempat tinggal yang layak.
"Di situlah negara hadir, yang memenuhi amanah UUD 1945 Pasal 28 h ayat 1 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang kemudian amanat dari UU No 4 tahun 2016 tentang Tapera, dibentuklah suatu badan sebagai katalis masyarakat untuk memiliki rumah dengan dana yang sustainable (berkelanjutan)," ucapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.