JAKARTA, KOMPAS.TV - “Bayangkan, Panglima TNI punya anggota 500 ribu prajurit, nggak boleh nyentuh Asabri, akhirnya kejadian seperti kemarin, kita nggak ngerti,” kata
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam konferensi pers, Jumat (31/5/2024).
Konferensi pers itu khusus membahas mengenai Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera yang kini tengah ramai dibicarakan dan menimbulkan pro dan kontra.
Moeldoko yang merupakan mantan Panglima TNI, mencoba meyakinkan publik bahwa kasus Asabri yang merugikan negara hingga Rp22,78 triliun, tidak akan terulang pada Tapera.
Kasus korupsi di tubuh Asabri awalnya memang nyaris tak tersentuh. Namun pada 2021 silam, Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berhasil menghitung dan mengungkap kerugian yang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
Selain melibatkan dua pensiunan jenderal, kasus Asabri pun menyeret pengusaha Benny Tjokro.
Ketika menjatuhkan vonis kepada para terdakwa, majelis hakim memberikan pertimbangan bahwa tindakan korupsi tersebut dilakukan secara terencana, struktur dan masif.
Dampaknya, lanjut majelis hakim, menimbulkan ketidakpercayaan publik atau public distrust pada kegiatan asuransi di Indonesia yang berdampak pula pada perekonomian negara.
Baca Juga: Berkaca Kasus Asabri dan Jiwasraya, PKS Wanti-Wanti Pengelolaan Dana Tapera Harus Transparan
Dalam perkara tersebut, para terdakwa dinilai melakukan kerja sama untuk mengambil keuntungan dari investasi PT Asabri.
Investasi itu dilakukan dengan menggunakan dana Tabungan Hari Tua (THT) dan Akumulasi Iuran Pensiun (AIP) milik anggota TNI, Polri dan ASN Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Pada perjalanannya, investasi itu justru mengalami banyak kerugian.
Dana program THT dan dana Program AIP, bersumber dari iuran peserta Asabri setiap bulan dan dipotong dari gaji pokok TNI, Polri, dan ASN/PNS di Kementerian Pertahanan sebesar 8 persen.
Dengan rincian, untuk Dana Pensiun dipotong sebesar 4,75 persen dari gaji pokok dan untuk THT dipotong 3,25 persen dari gaji pokok.
Asabri melakukan investasi di pasar modal dalam bentuk instrumen saham, termasuk saham yang sedang bertumbuh atau dikenal dengan layer 2 atau layer 3, yaitu saham-saham dengan risiko tinggi.
Benny Tjokro dan delapan terdakwa lainnya melakukan investasi saham, reksa dana, Medium Term Note (MTN) atau surat utang jangka menengah, dan investasi lainnya yang berisiko tinggi dan memiliki kinerja tidak baik dan mengalami penurunan harga, sehingga merugikan negara hingga Rp22,788 triliun.
Kedelapan terdakwa yang sudah divonis dalam perkara tersebut, yaitu Direktur Utama (Dirut) PT Asabri 2012-Maret 2016 Mayjen Purn. Adam Rachmat Damiri, Dirut PT Asabri Maret 2016 - Juli 2020 Letjen Purn Sonny Widjaja, Direktur Investasi dan Keuangan PT. Asabri 2012 - Juni 2014 Bachtiar Effendi.
Kemudian Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri Juli 2014 - Agustus 2019 Hari Setianto, Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo, Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) Lukman Purnomosidi.
Lalu Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, Dirut PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro dan Presiden Direktur PT Rimo International Lestari Teddy Tjokrosapoetro.
Baca Juga: Kasus Jiwasraya, Kejagung Rampas Vila Milik Benny Tjokro Senilai Rp32,8 Miliar di New Zealand
Namun Benny Tjokro divonis nihil oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Kamis, 12 Januari 2023 silam.
Vonis itu berarti Benny lolos dari hukuman mati yang merupakan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
JPU Kejagung sebelumnya menuntut Benny dengan pidana mati lantaran dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri pada 2012-2019.
Namun dalam perkara PT Jiwasraya, Benny sudah divonis seumur hidup. Dia juga diminta membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp5,733 triliun.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.