JAKARTA, KOMPAS.TV - Tulisan opini Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri di Harian Kompas terkait sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai sebagai harapan umum masyarakat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof. Hamid Awaluddin menjelaskan dalam tulisan opini "Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi", Megawati memilih sebagai warga negera Indonesia, bukan sebagai Presiden ke-5 RI ataupun pimpinan partai politik besar.
Hal ini menandakan kegelisahan dan harapan yang ditulis Megawati dalam opininya bukan lahir dari monopoli pikiran sendiri, tapi sebagai perwakilan perasaan sama yang dirasakan banyak orang.
"Di kalimat pembuka dia memulai dengan rakyat Indonesia sedang menunggu. Atribusi itu adalah kegelisahan dari banyak orang itu makna sebenarnya. Jadi tidak ada kaitannya atribusi dia sebagai ketua partai atau mantan presiden, mantan anggota dewan. Mega adalah rakyat Indonesia," ujar Hamid di program Kompas Petang KOMPAS TV, Senin (8/4/2024).
Hamid menilai bahasa tulisan Megawati tersebut merupakan ungkapan dan ekspresi dari alur pikiran yang jernih bukan sekadar refleksi dari kepentingan dan keinginan sesaat.
Baca Juga: Megawati Tulis Pesan di Harian Kompas, Singgung Etika Presiden hingga Kecurangan Pilpres 2024
Sebab dalam membuat sebuah tulisan seseorang membutuhkan kontemplasi atau kebulatan pikiran dan perhatian penuh. Hal ini jugalah yang membedakan sebuah tulisan dengan omongan.
"Saya kira dalam menulis ini beliau dalam perenungan panjang, ada kontemplasi dalam yang lahir dari pengalaman empirik yang nyata yang dihadapinya," ujar Hamid.
Hamid menambahkan dalam tulisan itu Megawati terlihat sangat berharap supaya MK bisa melihat dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024 dari sisi lain.
Hamid tidak melihat ada tekanan kepada MK dalam tulisan tersebut. Menurutnya dalam tulisan itu, sangat menggambarkan posisi Megawati yang dahaga akan kebenaran dan keadilan, hingga membayangkan MK masih bisa menjadi oasis untuk menghilangkan dahaga kebenaran yang mengelisahkan dirinya.
"Dia membayangkan hakim MK itu memiliki kenegarawanan dan dia memberikan empat kriteria untuk menjadi kenegarawanan. Kalau dia mengintimidasi, mengancam dia tidak memberikan kriteria," ujar Hamid.
Baca Juga: Refly Harun Berharap Tulisan Megawati Ilhami Hakim MK Ambil Keputusan Sengketa Pilpres 2024
Lebih lanjut Hamid melihat secara positif Megawati mengharapkan MK dapat memutuskan perkara sengketa pilpres tidak berkutat pada angka-angka statistik.
Tapi berharap MK melihat prosesnya. Harapan ini dituangkan dalam kata-kata soal voting behaviour atau tingkah laku pemilih yang ditentukan oleh social expenditure atau alokasi bantuan buat masyarakat dari pemerintah.
Dalam konteks ini secara spesifik Megawati memberi contoh bantuan sosial yang bisa mempengaruhi pilihan seseorang.
Sedangkan kalimat "Tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur" dalam artikel opini Megawati dianggap merupakan pernyataan tidak ada satu pihak pun yang bisa menyembunyikan kebenaran.
"Maknanya adalah kebenaran itu akan terkuak. Jangan paksakan menyembunyikan kebenaran karena kebenaran yang diidentifikasi sebagai fajar itu tetap akan muncul. Hukum alam adalah fajar menyingsing di ufuk timur," ujar Hamid.
Baca Juga: Jimly Asshiddiqie: MK Bukan Mahkamah kalkulator! | ROSI
"Ini pengingat hakim MK, dan di bagian akhir ada Amicus Curiae, sahabat pegadilan. Itu membuktikan Ibu Mega tidak membenci pengadilan, tidak mengintimidasi. Itu maknanya," sambung Hamid.
Adapun dalam tulisannya Megawati berharap hakim MK dapat memberikan keadilan substantif dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilu atau pilpers.
Harapan tersebut ditulis Megawati dalam artikel opini yang dikutip dari Kompas.id, Selasa (9/4/2024).
Tulisan Megawati tersebut sekaligus menjadi bagian dari Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk MK, di tengah proses sidang sengketa Pilpres 2024 yang tengah berlangsung.
Di awal tulisannya Megawati menyatakan rakyat Indonesia sedang menunggu keputusan para Hakim Konstitusi terkait perkara sengketa hasil Pilpres 2024 sesuai dengan hati nurani dan sikap kenegarawanan, ataukah membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.