Otto menegaskan perkara ini seharusnya tidak diajukan ke MK, melainkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Sebab isi permohonan tidak sesuai dengan ketentuan UU Pemilu sehingga dapat dikatakan permohonan pemohon adalah salah kamar.
Baca Juga: Muatan Materi Bukan Perselisihan Hasil, KPU Minta MK Tolak Gugatan Sengketa Pilpres Anies-Muhaimin
Otto menjelaskan, tidak tepat bila pemohon membawa seluruh persoalan yang berkaitan dengan kecurangan pelanggaran dalam proses pemilu yang menjadi kewenangan dari badan-badan lain kepada MK.
Ini terkait dengan pelanggaran administratif terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang telah diatur secara rinci pada Pasal 463 UU Pemilu.
Mengacu ketentuan Pasal 463 UU Pemilu, maka kewenangan tentang penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu TSM yang terjadi mutlak menjadi kewenangan Bawaslu.
Dengan demikian, putusan Bawaslu tentang pelanggaran administratif pemilu yang terjadi TSM harus ada terlebih dahulu, dan harus ada keputusan KPU tentang sanksi administratif berupa pembatalan calon.
"Pada perkara a quo pemohon, terlihat pemohon memasukkan permasalahan yang bukan kewenangan MK. Hal ini dapat dilihat dalam pokok permohonan pemohon yang kesemuanya bukan kewenangan MK," ujar Otto.
Baca Juga: Otto Hasibuan: PHPU 01 dan 03 Terkesan Menggiring Opini
Begitu juga dengan petitum pemohon tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di MK. Otto menilai petitum pemohon telah lari dan menyasar ke mana-mana.
"Terkesan petitum pemohon petitum sapu jagat. Karena pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perkara ini diminta pemohon ke MK untuk dihukum atau diperintah untuk melakukan," ujar Otto.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.