JAKARTA, KOMPAS TV - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah menjadi oposisi atau berada di barisan luar pemerintahan selama kurang lebih sembilan tahun.
Lalu, berdasarkan hasil hitung cepat sementara Pilpres 2024 pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memenangkan atau unggul pada gelaran Pilpres 2024.
Apakah PKS akan kembali menjadi oposisi bila nantinya Prabowo-Gibran dilantik menjadi pemimpin Indonesia?
Baca Juga: Respons PKS soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI Jakarta
Hal ini mengingat pada gelaran pesta demokrasi lima tahunan itu PKS mengusung capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN).
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, PKS belajar dari 10 tahun sebagai penyeimbang pemerintah.
Sebab, sebagai opisisi perolehan suara di 2024 tidak cukup signifikan untuk menambah kursi di DPR RI.
“Tenggelam dan timbul bersama rakyat itu sangat penting. Menjadi penyambung lidah rakyat itu sebuah kehormatan. Tapi ternyata perilaku pemilih kita tidak mengapresiasi hal ini. Harusnya, mereka memberikan suaranya untuk PKS agar bisa menambah kursi di DPR. Fenomena PKS menjadi oposisi selama 10 tahun tidak semaksimal apa yang dilakukan PDIP. Hasilnya, PDIP panen pada pemilu kedua yang memperoleh suara terbesar,” kata Pangi dalam keterangannya, Senin (18/3/2024).
Ia menilai rakyat tak begitu mengapresiasi kinerja PKS sebagai oposisi.
“Rakyat tidak cukup cerdas untuk itu. Rakyat tidak memberikan reward terhadap perjuangan PKS. Saya berpikir bahwa PKS bisa nomor satu atau dua, tapi faktanya tidak seperti yang dihitung di atas kertas," katanya.
Menjadi oposisi selama hampir 10 tahun, kata dia, cukup melelahkan. Partai tidak dapat program dan kebijakan dari pemerintah.
Selain itu, banyak program kepala daerah dari PKS yang tidak bisa mendapat anggaran pusat karena dianggap oposisi, salah satunya adalah Depok.
“Saya pikir PKS akan rasional, kalau 10 tahun oposisi tidak maksimal membantu rakyat, saya pikir di dalam pemerintah pun tidak membawa kesialan, justru membawa kebaikan. PKS tidak ada kendala dengan Prabowo, telah membersamai dua kali pemilu, dan ini tidak membuat chemistry mereka sulit untuk bersatu," ujarnya.
"Berbeda dengan PDIP. Dengan Gerindra pun setahu saya tidak ada kendala dalam membangun koalisi," katanya.
Pangi mengatakan, tidak ada partai yang bisa menjadi oposisi selama 15 tahun.
Namun, jika PKS mengambil jalan 15 tahun sebagai oposisi, hal tersebut harus diapresiasi.
“Saya pikir PKS lebih mempertimbangkan kebermanfaatan dan kemudhoratannya. Masyarakat masih berharap ada oposisi,” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Bandung, Muhammad Fuady mengatakan, koalisi dengan pemerintah itu mungkin saja terjadi.
Tapi, persoalannya apakah konsituen PKS dapat menerima jika partai pilihannya memilih untuk berkoalisi dibanding menjadi oposisi.
“PKS adalah salah satu partai yang memiliki tingkat pragmatisme rendah. Partai ini relatif konsisten, berbasis ideologi keagamaan, baik di level elite maupun konstituennya," katanya.
Baca Juga: PKS: Kalau Satu Negara Tidak Ada Oposisi, Nggak Malu Apa Kita di Mata Dunia?
"Pilihan menjadi oposisi juga sudah dilakukan sejak lama. Keputusan politik PKS biasanya memiliki resonansi yang sama dengan pemilih, artinya suara partai selaras dengan publiknya," imbuhnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.