Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri, yang juga hadir sebagai pembicara, menyatakan bahwa kepemimpinan harus dibedakan secara mendasar dengan jabatan atau kedudukan.
Sebab, kepemimpinan merupakan perilaku yang dibentuk oleh kompetensi, karakter dan nilai-nilai yang memandu tumbuh kembang pribadi individu.
”Apakah seorang pejabat publik merupakan pemimpinan atau bukan, tentu tergantung perilaku dalam menjalankan tugas-tugasnya,” ungkapnya.
Baca Juga: Menko Polhukam Sebut Ada Potensi Unjuk Rasa tapi Skalanya Kecil: Intelijen Pantau agar Kondusif
Menurutnya, situasi sosial politik saat ini kurang mendukung bagi pengembangan kepemimpinan yang ideal.
Ekosistem kepemimpinan nasional yang menurutnya berisi fenomena menguatnya politik dinasti dan keberpihakan kekuasaan dalam proses elektoral, pelanggaran etika publik dan rekayasa hukum secara terang-terangan, hingga maraknya praktek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), turut mewarnai karakter kepemimpinan nasional.
”Karena itu, kita memerlukan sebuah undang-undang yang mengatur rekrutmen kepemimpinan publik agar memasukkan pula syarat-syarat kualitatif.”
“Proses seleksi kepemimpinan nasional tidak bisa hanya ditentukan angka-angka sehingga menyebabkan demokrasi kehilangan ruh substansial,” jelasnya.
Kegiatan tersebut menghadirkan lima pembicara, yakni Sudirman Said, Prof Armaidy Armawi (Guru Besar Filsafat UGM), ProfM. Baiquni (Guru Besar Geografi UGM), Prof Ni’matul Huda (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia) dan Prof Heru Kurnianto Tjahjono (Guru Besar Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.