“Misalnya, dengan memberikan serangkaian tes kepada tersangka, atau melakukan pemeriksaan riwayat medis, melakukan wawancara terhadap orang-orang yang hadir dalam kehidupan tersangka,” kata Reza.
“Sehingga itu semua menghasilkan data-data memadai untuk disimpulkan, apakah tersangka sungguh-sungguh kelainan jiwa tertentu yang mungkin bisa mendapatkan layanan Pasal 44 KUHP atau justru tersangka memainkan malingering,” katanya.
Jika tersangka benar mengalami kelainan jiwa tertentu, maka dia bisa dikenakan Pasal 44 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
Sebaliknya, jika tersangka melakukan praktik malingering, maka dapat dijerat dengan pasal berlapis karena dinilai mempersulit proses penyidikan.
“Dengan mengenakan pasal berlapis, diharapkan akan semakin sulit bagi yang bersangkutan untuk lolos dari jerat hukum,” ucapnya.
Reza berharap, kasus ini bergulir dengan baik hingga di persidangan, tidak dilakukan SP3 (Surat perintah Penghentian Penyidikan).
Jika pelaku benar memiliki gangguan jiwa, maka hakim akan memerintah pelaku untuk berobat. Jika sebaliknya, maka pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.
Baca Juga: Ibu Bunuh Anak di Bekasi, Suami Sudah Curiga dengan Gelagat Aneh Pelaku Sejak 2 Bulan
Diberitakan Kompas.tv sebelumnya, SNF menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri, AAMS (5), di Perumahan Burgundy, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Kamis (7/3/2024).
AAMS tewas usai mendapatkan 20 luka tusukan, termasuk di bagian dada yang berakibat fatal.
SNF ditetapkan sebagai tersangka dijerat dengan Pasal 76C Juncto Pasal 180 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-Undang RI No 35 Tahun 2014 atau Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.