Baca Juga: Soal "Carbon Capture and Storage", Mahfud: Pembuatan Regulasi Perlu Buat Naskah Akademik Dulu
Di sisi lain pemakaian penerbangan privat jelas menunjukkan gaya hidup mahal dan mewah para pasangan Capres-Cawapres sementara rakyat sedang menghadapi kesusahan.
"Seharusnya mereka bisa memakai pesawat komersial atau moda alternatif lain yang mungkin dan lebih rendah emisi untuk mengurangi jejak karbon selama kampanye sekaligus untuk menunjukkan komitmen serta arah transisi energi ke depan," Ahmad.
Adapun metode pemantauan data penerbangan ini dengan mencocokkan jadwal dan lokasi kampanye Pilpres 2024 dari masing-masing Paslon presiden dan wakil presiden dengan bandara terdekat atau lapangan terdekat untuk melihat kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut.
Pemantauan dilakukan sejak kampanye dimulai pada 28 November 2023 sampai 4 Februari 2024 atau selama 69 hari kampanye (92 persen hari kampanye).
Jumlah perjalanan udara yang kami analisa sebanyak 235 kali dengan berbagai tipe pesawat dengan total jarak tempuh 174.108,37 Km. Semuanya penerbangan domestik.
Baca Juga: Sempat Buat Heboh Debat Cawapres, Apa Itu 'Greenflation' dan 'LFP' yang Ditanyakan oleh Gibran?
Ahmad menjelaskan tidak semua perjalanan dapat dianalisis karena keterbatasan data penerbangan dan adanya upaya menyembunyikan data pesawat yang digunakan di domain publik.
"Kami menduga data penerbangan tersebut lebih banyak dari data yang tersaji untuk publik. Apa yang tersaji ini adalah puncak dari gunung es emisi penerbangan kandidat," ujarnya.
Manajer Riset Trend Asia, Zakki Amali menilai jumlah total estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama kampanye ini setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan 37.539 orang di Indonesia.
Atau lebih banyak dari emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dengan asumsi emisi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 Kg.
Baca Juga: Pajak Karbon Diterapkan 1 Januari 2022
Menurutnya fakta tersebut sangat irono mengingat para Paslon presiden dan wakil presiden membicarakan masa depan Indonesia atas emisi karbon.
Zakki menjelaskan World Inequality Database (WID) pada 2019 mengungkap 10 persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 11,1 Ton karbondioksida ekuivalen per kapita CO2e dari seluruh sektor.
Pada tahun sama, satu persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 38,7 ton CO2e dari seluruh sektor. Sementara itu, dalam periode sama, per kapita di Indonesia menghasilkan 3,3 ton CO2e.
Data ini menunjukkan bahwa emisi dari 10 persen orang terkaya Indonesia tiga kali lipat dari rata-rata emisi nasional dan 1 persen orang terkaya mengeluarkan emisi setara emisi dari 12 individu umum. Jejak karbon dua kelompok ini menunjukkan ketimpangan emisi.
"Kelompok-kelompok terkaya memiliki jejak karbon per kapita yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata nasional. Emisi yang dihasilkan kelompok terkaya harus diatasi, misalnya dengan redistribusi kekayaan atau dengan menaikan pajak untuk orang kaya dan tidak mengulangi kebijakan semacam tax amnesty yang hanya menguntungkan orang kaya," ujar Zakki.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.