JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja menanggapi film dokumenter Dirty Vote yang disutradarai Dandhy Laksono dan dirilis Minggu (11/2/2024) di YouTube.
Rahmat mempersilakan pihak yang mengkritik kinerja Bawaslu. Namun, imbuhnya, pihaknya tidak ingin proses yang sedang berjalan dianggap tidak benar.
“Tanggapannya, alhamdulillah, silakan kritik kami. Proses sedang berjalan, kami tidak ingin kemudian juga proses-proses ini dianggap tidak benar,” kata dia, Minggu, dikutip dari video Kompas TV.
“Namun, pada titik ini, Bawaslu telah melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Tapi tergantung masyarakat juga, perspektif masyarakat, silakan.”
Baca Juga: Reaksi Bey Machmudin untuk Film Dirty Vote: Silakan Tunjukkan Kalau Saya Tidak Netral
Bawaslu, lanjut Rahmat, tidak bisa menyetir perspektif masyarakat. Oleh sebab itu, ia mempersilakan jika ada yang mengkritisi kinerja Bawaslu.
“Teman-teman kalau mengkritisi Bawaslu silakan saja. Tidak ada masalah bagi Bawaslu sepanjang kami melakukan tugas, fungsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
“Namun, hal-hal yang kemudian bisa menimbulkan konflik dan lain-lain, lebih baik dihindarkan. Karena sekarang menjelang masa pemungutan suara,” imbaunya.
“Jangan sampai masa pemungutan suara ini terganggu gara-gara hal tersebut,” tegasnya.
“Namun hak kebebasan berekspresi, berpendapat, apa yang diungkapkan oleh teman-teman merupakan hak yang dijamin oleh konstitusional. Demikian juga hak dan juga tugas wewenang Bawaslu diatur oleh undang-undang,” bebernya.
Dirty Vote merupakan film dokumenter eksplanatori yang disampaikan tiga ahli hukum tata negara yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.
Baca Juga: PDI-P: Film Dirty Vote Merupakan Kritik Terhadap Jokowi
Dalam film tersebut, ketiganya mengungkap sejumlah instrumen kekuasaan yang diduga telah digunakan untuk memenangi pemilu dan merusak tatanan demokrasi.
Menurut Bivitri, film ini secara sederhana adalah sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi di Indonesia.
Di mana, kata dia, kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung,” kata dia dalam keterangannya, Minggu.
“Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi," ujarnya.
Kedua, lanjut dia, adalah tentang penyalahgunaan kekuasaan dan nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis.
Ia mengatakan sikap publik menjadi penting dalam menanggapi hal ini. Ia pun bertanya apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?
"Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” tandas Bivitri.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.