JAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan lima keganjilan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam penanganan kasus mantan Caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Harun Masiku yang melakukan suap kepada Komisioner KPU.
Hal ini diungkapkan peneliti ICW Kurnia Ramadhana merespons belum ditangkapnya Harun Masiku oleh KPK, Selasa (16/1/2024).
Lima keganjilan itu, pertama, pembiaran dari Pimpinan KPK terhadap pegawai yang diduga disekap di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
“Pada tanggal 8 Januari 2020, tim KPK diketahui mencari keberadaan dua pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara suap PAW anggota DPR RI di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Saat menjalankan tugas yang disertai dengan dokumen administrasi penindakan, beberapa orang pegawai KPK justru mendapatkan tindakan tidak menyenangkan dari oknum kepolisian di sana,” ucap Kurnia.
Baca Juga: Pakar Hukum Tata Negara Khawatirkan Realitas Politik Pemakzulan: Bisa Rusak Pemilu, Itu Lebih Bahaya
Bahkan, disinyalir terdapat praktik penyekapan di PTIK. Namun, alih-alih ditindak, setelah kabar ini mencuat ke tengah masyarakat, Pimpinan KPK tak melakukan tindakan perlindungan dan perlawanan apa pun.”
Keganjilan kedua, kata Kurnia, adalah pemulangan paksa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti ke Kepolisian yang dilakukan oleh Pimpinan KPK.
Untuk diketahui, Kompol Rossa Purbo Bekti adalah salah satu penyidik KPK yang diketahui turut terlibat dalam penanganan perkara Masiku.
“Pasca-melakukan serangkaian penindakan, ia justru dipulangkan paksa oleh Pimpinan KPK ke instansi asalnya, yakni, Kepolisian. Padahal, saat itu Rossa belum memasuki masa purna tugas di KPK dan diketahui juga tidak pernah dikenakan tindakan disiplin atau melanggar kode etik,” jelas Kurnia.
Baca Juga: Mahfud MD Minta 93 Pegawai KPK yang Diduga Terlibat Pungli Ditangkap
“Sehingga, terdapat kesan kuat di tengah masyarakat bahwa Pimpinan KPK tidak sependapat dengan proses hukum terhadap Masiku.”
Kurnia lebih lanjut menuturkan keganjilan ketiga, yakni soal penyegelan kantor DPP PDI Perjuangan pada 9 Januari 2020.
“Tim KPK menyambangi kantor DPP PDIP guna melakukan penyegelan terkait dengan proses penyelidikan perkara suap Pergantian AntarWaktu (PAW) anggota DPR RI yang melibatkan Masiku. Bukannya diberikan akses, tim KPK justru mendapatkan penolakan dari petugas PDIP. Sayangnya, Pimpinan KPK kembali tidak melakukan tindakan untuk memprotes sikap partai politik tersebut,” ungkap Kurnia.
Kemudian keganjilan keempat, sambung Kurnia, adalah dugaan kebohongan antara Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK terkait rencana penggeledahan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
“Selain soal gagalnya penyegelan Kantor DPP PDIP, juga terjadi silang pendapat pada tahap penyidikan, antara Pimpinan KPK Nurul Ghufron dengan Dewan Pengawas terkait proses perizinan administrasi penggeledahan,” jelas Kurnia.
“Nurul kala itu mengklaim sudah mengirimkan surat permintaan izin kepada Dewas, akan tetapi instrumen pengawas KPK tersebut membantah hal tersebut. Ini mengartikan di antara Nurul dan Dewas ada yang berbohong dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.”
Baca Juga: PDI-P Terima Pengunduran Diri Maruarar Sirait yang Ngaku Ikuti Langkah Jokowi
Keganjilan kelima atau terakhir, disebut Kurnia saat Pimpinan KPK memberhentikan pegawai yang menangani perkara Masiku melalui Tes Wawasan Kebangsaan pada tahun 2021. Padahal, Pimpinan KPK diketahui bertindak semena-mena dengan melanggar hukum saat memberhentikan 57 pegawai melalui Tes Wawasan Kebangsaan.
“Di antara puluhan nama pegawai tersebut, terdapat dua orang yang sebelumnya pernah menangani perkara Masiku, yakni, Ronal Sinyal dan Harun Al Rasyid. Kuat dugaan penanganan perkara Masiku turut menjadi salah satu faktor di balik pemberhentian pegawai-pegawai KPK,” ujar Kurnia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.