JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) sebut langkah Firli Bahuri mundur dari jabatan sebagai Ketua KPK karena ingin menghindari penegakan etik di KPK.
Menurut ICW, cara ini merupakan pola lama yang pernah dilakukan Lili Pintauli Siregar dan saat ini ditiru oleh Firli Bahuri.
Demikian Peneliti ICW Kurnia Ramadhan merespons pengunduran diri Firli Bahuri yang disampaikan Kamis, 21 Desember 2023.
“Modus lama untuk menghindar dari penegakan etik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dilakukan. Setelah Lili Pintauli Siregar berhasil, kali ini Ketua KPK non- aktif, Firli Bahuri, ingin menirunya,” ucap Kurnia.
Oleh karena itu, ICW mendesak Dewan Pengawas KPK segera mengirimkan surat kepada Presiden untuk meminta agar permohonan pengunduran diri Firli Bahuri ditunda sampai kemudian persidangan dugaan pelanggaran kode etik selesai.
Baca Juga: Makna Pakaian Capres-Cawapres Pilpres 2024 di Panggung Debat
Kemudian, Presiden harus menunda penerbitan Keputusan Presiden yang berisi pemberhentian Firli Bahuri sampai kemudian persidangan dugaan pelanggaran kode etik di Dewan Pengawas selesai.
“Firli, pada Kamis, 21 Desember 2023, diketahui mengirimkan surat pengunduran diri sebagai Pimpinan KPK kepada Presiden di tengah proses persidangan dugaan pelanggaran kode etik sedang berlangsung. Jika kemudian Presiden menyetujuinya, maka persidangan etik di Dewan Pengawas (Dewas) berpotensi besar akan dihentikan,” jelas Kurnia.
Menurut Kurnia, siasat Firli menghindari segala sanksi, baik hukum maupun etik, terhadap perbuatan yang diduga ia lakukan sebenarnya sudah tampak sejak awal. Misalnya, saat Penyidik Polda Metro Jaya ingin memeriksanya, Firli sempat menggunakan segudang alasan untuk tidak menghadiri panggilan tersebut.
“Begitu pula pasca dirinya ditetapkan sebagai Tersangka, Firli mengajukan upaya praperadilan,” ujar Kurnia.
Baca Juga: Eks Penyidik KPK soal Firli Mundur: Itu Bukan Representasi Sifat Ksatria tapi Manfaatkan Momentum
Lalu, setelah putusan praperadilan tidak menerima permohonannya, mantan jenderal bintang tiga kepolisian itu pun kembali bermanuver dengan cara mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden.
“Dari sini tentu mudah menebak strategi yang sedang dimainkan Firli, yakni, ingin terbebas dari sanksi etik dan masih menganggap dirinya berintegritas,” kata Kurnia.
Padahal, sambung Kurnia, kemungkinan Firli dijatuhi sanksi berat oleh Dewas KPK terbilang besar. Bagaimana tidak, ia saat ini dihadapkan dengan dua pelanggaran kode etik sekaligus, diantaranya, mengadakan hubungan langsung maupun tidak langsung dengan pihak berperkara dan terindikasi tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.
“Terkait pelanggaran kode etik pertama, bukti petunjuknya sudah beredar luas, yakni foto Firli bersama mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo di gedung olahraga bulutangkis. Pada awal Desember lalu Dewas mengkonfirmasi ternyata ada pertemuan lagi yang dilakukan keduanya diikuti dengan sejumlah komunikasi,” jelas Kurnia.
Baca Juga: Begini Pengamanan Debat Cawapres dan Rekayasa Lalu Lintas Sekitar JCC
“Merujuk pada Pasal 16 angka 1 huruf a Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021 (PerDewas 3/2021), perbuatan tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi berat.”
Sedangkan pelanggaran kode etik kedua, Firli disinyalir tidak memasukkan penyewaan rumah di Kertanegara yang bernilai ratusan juta rupiah ke dalam LHKPN.
Memang, jika melihat Pasal 14 angka 1 huruf a PerDewas 3/2021, ketidakpatuhan pengisian LHKPN hanya bisa diganjar dengan sanksi ringan. Akan tetapi, Pasal 9 ayat (2) PerDewas 3/2021 mengamanatkan bahwa dalam hal suatu peristiwa Pelanggaran Etik terdapat beberapa perbuatan dengan tingkat sanksi yang berbeda-beda maka sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi yang terberat.
“Oleh sebab itu, jika kemudian terbukti, maka jenis sanksinya tetap bisa dikategorikan berat mengikuti ketentuan pelanggaran etik pertama. Sekalipun, kepatuhan LHKPN Firli ini dapat dikembangkan ke arah indikasi penerimaan gratifikasi,” ujar Kurnia.
“Sebab, jika bukan dari hasil gratifikasi, mengapa Firli enggan menaruhnya di dalam LHKPN? Bila benar, penerimaan gratifikasi adalah hal terlarang dalam ketentuan kode etik KPK yang mana hukumannya adalah sanksi berat.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.