JAKARTA, KOMPAS.TV – Mahkamah Konstitusi (MK) menjadwalkan sidang kedua terhadap perkara 141/PUU-XXI/2023 pada Senin (20/11/2023).
Berdasarkan surat panggilan sidang yang dikirimkan oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK), perkara Nomor 141 akan kembali disidangkan hari ini dengan agenda perbaikan permohonan. Surat panggilan sidang tersebut ditandatangani oleh Panitera MK Muhidin.
Kuasa hukum perkara 141, Viktor Santoso Tandiasa, saat dikonfirmasi, Sabtu (18/11/2023), membenarkan adanya agenda sidang tersebut.
Pemohon pengujian kembali kembali Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), Brahma Aryana yang merupakan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, berharap MK langsung menjatuhkan putusan.
”Kami akan memberi penekanan supaya (perkara) segera diputus. Permohonan juga sudah kami rombak,” kata Viktor.
Sebelumnya, ia sudah meminta MK memeriksa pengujian kembali Pasal 169 huruf q UU Pemilu pascaputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan hukum acara cepat.
Sementara pakar hukum mengingatkan ada urgensi yang cukup tinggi bagi Mahkamah Konstitusi untuk segera memutus uji materi perkara 141/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Sebab saat ini Indonesia dinilai berada dalam ketidakpastian hukum terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, perkara 141 harus segera diputuskan.
”Saat ini kita sedang menghadapi ketidakpastian hukum dalam pencalonan presiden dan wakil presiden ini. (Keputusan) ini penting untuk demokrasi Indonesia,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (19/11/2023) dikutip dari Kompas.id.
Ia menyebutkan, ada urgensi yang cukup tinggi untuk memutuskan perkara 141 menjelang Pilpres 2024. Apabila perkara 141 tidak segera diputuskan, Pilpres 2024 tidak punya dasar hukum yang jelas dan bisa menimbulkan masalah-masalah dan konflik di kemudian hari.
”Hal yang dikhawatirkan adalah Pilpres 2024 diwarnai dengan banyaknya kasus hukum perdata, konflik di masyarakat, dan jalannya pemerintahan yang tidak stabil,” katanya.
Bivitri optimistis MK dapat segera memutuskan perkara 141 karena berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi tertulis, MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
”Di pasal itu terdapat kata 'dapat'. Prinsip yang diperiksa adalah norma, apakah konstitusional atau tidak. Jadi memang dimungkinkan begitu pendahuluan langsung putusan, tidak perlu mendengar keterangan,” katanya.
Pengajar hukum tata negara, Universitas Andalas, Feri Amsari, juga mendorong putusan segera perkara 141 karena hakim sudah mendengar substansi yang dipersoalkan serta keterangan dari para pihak seperti pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. ”Dengan begitu, seharusnya MK bisa langsung menjatuhkan putusan,” katanya.
Menurut Feri, asas persidangan adalah berbiaya ringan, terbuka, dan cepat. Dengan begitu, seharusnya keputusan perkara 141 dapat dilakukan secara cepat.
”Meskipun undang-undang tidak mengatur jumlah hari untuk memutuskan suatu perkara, tetapi kalau hakim sudah punya keyakinan untuk memutuskan, maka tidak perlu menunggu waktu lama,” ujarnya.
Ia menjelaskan, putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres dan cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbirru bermasalah.
Agar kebijakan hukum terbuka konsisten, seharusnya majelis hakim mengabaikan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan menggunakan perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 untuk memperbaikinya, seperti dikutip Kompas.id, Minggu (19/11/2023).
Dia menilai putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mempunyai kesalahan fatal, karena memberlakukan aturan baru yang dalam memutuskan melibatkan keluarga istana terlalu dalam.
”Kalaupun ada syarat dan tahapan pemilu yang hendak diperbaiki, seharusnya, penerapan putusan perkara Nomor 90 diberlakukan pada pemilu selanjutnya,” kata Feri.
Baca Juga: Suhartoyo Bertekad Kembalikan Kepercayaan Publik pada Mahkamah Konstitusi
Sebelumnya, akibat putusan tersebut, Majelis Kehormatan MK (MKMK menjatuhkan sanksi berat untuk hakim konstitusi Anwar Usman, berupa pencopotan jabatannya dari Ketua MK.
MKMK juga menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan secara kolektif terhadap para hakim konstitusi lainnya.
Baca Juga: Penggugat Pengujian Kembali Usia Capres-Cawapres Harap MK Jatuhkan Putusan Usai Sidang Kedua
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.