JAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus kematian massal penyelenggara Pemilu, khususnya Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), serta pengawas Pemilu dan petugas keamanan di Pemilu 2019 harus menjadi perhatian serius.
Apalagi Pemilu 2024 berlangsung secara serentak, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Untuk itu penyelenggara Pemilu dan pihak-pihak terkait memastikan peristiwa serupa tidak terulang kembali pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi meminta KPU, Bawaslu, DKPP, serta lembaga negara terkait, terutama Kementerian Kesehatan, memangku kewajiban utama untuk mengupayakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM setiap warga negara. Termasuk di dalamnya hak atas kesehatan dan hak hidup para petugas Pemilu.
Pramono menjelaskan hasil diskusi bersama KPU, Bawaslu, Kemenkes, Ombudsman dan UGM ada beberapa faktor yang menjadi perhatian serius agar kasus di Pemilu 2019 tidak terulang.
Pertama, faktor penyakit komorbid yang meningkatkan risiko sakit dan kematian.
Baca Juga: Honor Ketua dan Anggota KPPS Pemilu 2024 Naik 100 Persen! Simak Syarat dan Tugasnya
Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan stroke menjadi komorbid paling tinggi yang menyebabkan penyelenggara Pemilu sakit dan bahkan meninggal dunia ketika menjalankan tugas.
Terdapat 485 anggota KPPS meninggal dunia dan sebanyak 10.997 orang mengalami sakit. Petugas KPPS yang sakit paling banyak berada di Provinsi Jakarta dan Banten.
Sedangkan petugas yang meninggal dunia terbanyak berada di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
"Petugas yang meninggal dunia mayoritas berjenis kelamin laki-laki dengan usia berkisar 46-67 tahun," ujar Pramono dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/11/2023).
Kedua, faktor managemen risiko.
Substansi UU Pemilu dan aturan kepemiluan lainnya, misalnya Pemilu dengan lima surat suara, serta harus selesai proses penghitungan suara paling lama 12 jam setelah hari pemungutan suara.
Baca Juga: Tetapkan Gibran Jadi Cawapres, KPU Dilaporkan ke DKPP
Namun aturan tanpa jeda menjadi bagian tidak terpisahkan dari penyebab sakit dan kematian massal penyelenggara Pemilu pada tahun 2019.
Kemudian terdapat kendala teknis yang tidak dapat diselesaikan secara teknis sehingga mengganggu proses pemungutan suara dan memperpanjang durasi kerja para penyelenggara Pemilu.
"Misalnya TPS yang terlambat memulai proses pemilihan, daftar pemilih yang kurang faktual, hingga persoalan logistik Pemilu yang tidak memadai pada hari pemungutan suara," ujar Pramono.
Ketiga, faktor beban kerja yang tidak manusiawi.
Beban kerja petugas KPPS yang sangat tinggi dan disertai dengan durasi kerja yang sangat panjang, dapat mencapai 48 jam tanpa henti sejak persiapan pendirian TPS.
Baca Juga: Mahfud MD: Kondisi Ruang Digital Jelang Pilpres 2024 Adem Ayem, Tak Sepanas Pemilu 2019
Panjangnya durasi tidak disertai honorarium yang memadai serta minim perlindungan dan pemenuhan hak hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas kesejahteraan bagi penyelenggara Pemilu Ad Hoc.
Di sisi lain lingkungan kerja TPS yang seringkali kurang baik untuk kesehatan bagi para penyelenggara Pemilu Ad Hoc.
Seperti lingkungan yang penuh asap rokok, ketersediaan makanan seperti gorengan dan minuman yang tidak sehat bagi tubuh, dan tidak tersedianya suplemen penambah daya tahan tubuh.
Pramono menjelaskan dari tiga faktor tersebut Komnas HAM memberikan beberapa rekomendasi untuk KPU agar kasus kematian penyelenggara Pemilu Ad Hoc di 2019 tidak terulang.
Baca Juga: 469 Petugas KPPS Meninggal, Penyebabnya Ternyata Bukan Kelelahan tapi…
Komnas HAM meminta KPU berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memastikan kesiapan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan pada titik-titik strategis yang mampu menjangkau setiap TPS saat penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada serentak 2024.
Penyederhanaan mekanisme penyelenggaraan Pemilu, terutama metode pemungutan dan perhitungan suara serta proses administrasi hasil pemungutan suara diperlukan untuk mengurangi beban kerja penyelenggara Pemilu.
KPU juga perlu menjamin ketersediaan anggaran yang memadai untuk biaya pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh bagi setiap penyelenggara Pemilu Ad Hoc. Atau bekerja sama dengan Rumah Sakit/Puskesmas milik pemerintah pusat atau daerah.
"Meningkatkan kualitas penyelenggara Pemilu melalui pelatihan (Bimtek) yang memadai, honor yang layak, jaminan sosial dan apresiasi pasca pelaksanaan tugas penyelenggaraan Pemilu," ujar Pramono.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.