JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya ada 56 mantan terpidana korupsi masih mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam pemilu 2024.
Hal tersebut disampaikan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.tv, Senin (6/11/2023).
“Nama mereka akan tertera di surat suara. Tingkat pencalonannya pun beragam, baik DPRD tingkat kota, kabupaten, provinsi, pusat, dan DPD RI,” ungkap Kurnia.
“Temuan ini memperlihatkan rendahnya kesadaran pemangku kepentingan menjamin pemenuhan nilai integritas dalam pemilu.”
Kurnia menambahkan, kesimpulan di atas bukan tanpa dasar. Dari permasalahan tersebut, ada beberapa hal dan temuan yang penting dijadikan catatan krusial, khususnya bagi partai politik atau parpol.
Baca Juga: Habiburokhman: Ada Upaya Penjegalan Gibran Jadi Cawapres Prabowo Subianto
“Pertama, partai politik melawan kehendak mayoritas masyarakat. Merujuk survei Litbang Kompas yang dilansir pertengahan Desember tahun 2022 lalu, tak kurang 90 persen lebih masyarakat tidak menghendaki mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif,” ujar Kurnia.
“Bukannya mendengar aspirasi itu, partai politik malah tetap bersikukuh menerima pendaftaran dan mencalonkan mantan terpidana korupsi.”
Kedua, sambung Kurnia, parpol cenderung pragmatis dalam memilih figur yang akan dicalonkan sebagai calon anggota legislatif.
“Logikanya, sebagian besar para mantan terpidana korupsi merupakan pejabat publik yang sebelumnya tersangkut kasus hukum,” ucap Kurnia.
“Oleh sebab itu, partai politik beranggapan dengan menggaet mantan terpidana korupsi, maka akan meningkatkan perolehan suara berdasarkan konstituen mereka sebelumnya. Model pemikiran semacam ini mencerminkan ketiadaan kaderisasi di internal partai.”
Baca Juga: Pakar Jelang Putusan MKMK: Harus Ada Upaya Menegakkan Restorative Justice di Wilayah Konstitusional
Ketiga, parpol masih menjadikan masyarakat sebagai penambal atas kebijakan pencalonan mantan terpidana korupsi pada pemilu mendatang. Seperti diketahui, saat isu ini mencuat, partai selalu berdalih bahwa “pilihan kembali kepada masyarakat.”
“Jika tidak setuju dengan caleg mantan terpidana, sebaiknya jangan dipilih. Penting dicatat, alasan itu sebenarnya sudah tidak relevan lagi diucapkan,” kata Kurnia.
“Sebab, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada tahun 2007 telah menegaskan bahwa masyarakat tidak dapat begitu saja diminta untuk menentukan pilihan tanpa ada mekanisme penyaringan terlebih dahulu di internal partai, utamanya dalam hal integritas kandidat.”
Keempat, jika nomor urut 1 dan 2 dalam pemilu dianggap calon prioritas, maka partai politik menilai keberadaan mantan terpidana korupsi penting pada kontestasi elektoral mendatang.
“Temuan ICW, dari 49 mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD dan DPR RI, 27 orang diantaranya mendapatkan nomor urut 1 dan 2,” ujar Kurnia.
Baca Juga: Projo soal Jokowi Dianggap Tak Netral: Itu Framing, Presiden Tidak Berpihak pada Calon Tertentu
“Hal ini menandakan bahwa partai politik masih memberikan “karpet merah,” bukan hanya mencalonkan, akan tetapi memberikan nomor unggulan kepada mantan terpidana korupsi.”
Kelima, narasi keberpihakan pada pemberantasan korupsi yang selalu digunakan oleh seluruh parpol terbukti hanya omong kosong semata. Kalau saja partai politik memahami, kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia berada pada titik yang mengkhawatirkan.
“Apalagi berkaitan dengan korupsi politik, di mana sebagian atau sekitar satu per tiga aktor yang dijerat oleh KPK dari 2004-2022 berasal dari klaster politik,” ujar Kurnia.
“Oleh sebab itu, perekrutan kandidat calon anggota legislatif mestinya tidak lagi memberikan tempat bagi mantan terpidana korupsi. Permasalahan ini juga yang kerap mengantarkan partai politik menempati posisi paling rendah dalam survei tingkat kepercayaan masyarakat.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.