Kompas TV nasional rumah pemilu

Hakim Konstitusi Saldi Isra Ungkap Keanehan dalam Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres

Kompas.tv - 16 Oktober 2023, 21:25 WIB
hakim-konstitusi-saldi-isra-ungkap-keanehan-dalam-putusan-mk-soal-batas-usia-capres-cawapres
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra membeberkan keanehan putusan MK yang mengabulkan gugatan terhadap batas usia capres-cawapres, Senin (16/10/2023). (Sumber: Kompas.com)
Penulis : Dian Nita | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengungkap sederet keanehan dalam putusan MK yang mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam putusan yang dibacakan pada Senin (16/10/2023) tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun menjadi capres atau cawapres selama pernah atau sedang menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Saldi mengatakan MK seharusnya menolak gugatan tersebut. Ia mengaku bingung mengapa MK akhirnya mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 pada sidang putusan hari ini.

"Saya menolak permohonan a quo dan seharusnya MK menolak permohonan a quo," ucapnya tatkala membacakan dissenting opinion dalam sidang putusan, Senin.

"Sebab sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," lanjutnya.

Baca Juga: Ucapan Menohok Hakim Saldi Isra Tolak Putusan MK Kabulkan Usia Capres Cawapres di Bawah 40 Tahun

1. Berubah dalam Sekejap

Saldi mengaku sejak dirinya menjabat sebagai Hakim Konstitusi, baru kali ini MK mengubah pendiriannya dalam sekejap.

MK, kata Saldi, memang pernah berubah pendirian. Namun ia menyatakan, perubahan MK tidak pernah terjadi secepat seperti saat ini.

Perubahan itu pun tidak sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?" tanya Saldi.

Baca Juga: Pengamat Sebut Putusan MK soal Batas Usia dan Syarat Kepala Daerah Akan Ciptakan Manuver Politik!

2. Putusan MK Berubah usai Anwar Usman Ikut Rapat

Saldi mengungkap, secara keseluruhan, terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Dari belasan perkara itu, hanya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli.

Untuk memutus tiga perkara tersebut, kata dia, MK lantas menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 19 September 2023.

RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.

Namun, RPH tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua MK Anwar Usman.

Saldi mengatakan hasil RPH menyatakan enam hakim konstitusi sepakat menolak permohonan pemohon. Enam hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang.

Sementara dua hakim konstitusi lainnya memilih sikap berbeda atau dissenting opinion.

Dia melanjutkan, MK lantas menggelar RPH berikutnya untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

RPH kedua itu dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, termasuk Anwar Usman.

Dalam RPH tersebut, ungkap Saldi, beberapa hakim yang semula memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Baca Juga: Putusan MK soal Pernah Jadi Kepala Daerah 'Golden Ticket' untuk Gibran Rakabuming, Ini Kata Pengamat

“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” ungkap Saldi.

Dari lima hakim konstitusi yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023, tiga hakim membuat syarat alternatif bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.

Sementara dua hakim konstitusi lain yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan, membuat alternatif aturan bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur. 

Atas dinamika ini, Saldi pun bertanya-tanya, seandainya RPH yang digelar untuk memutus perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, akankah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas hakim sebagai kebijakan hukum terbuka atau tidak?

Sebaliknya, jika RPH memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap sama dengan komposisi hakim dalam Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, yaitu tetap delapan hakim tanpa dihadiri hakim Anwar Usman, apakah putusan akan tetap sama atau berbeda?

“Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,” tutur Hakim Saldi.

Baca Juga: Hakim MK Kabulkan Syarat Pernah Jadi Kepala Daerah! Apa Alasannya?

3. Gugatan Nomor 90 dan 91 Sempat Dicabut Namun Dibatalkan 

Saldi juga menyebut permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 sempat dicabut pemohon.

Kendati demikian, kata Saldi, sehari setelah dua perkara tersebut ditarik, pemohon membatalkan penarikan.

"Para pemohon perkara 90 dan 91 sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut," tuturnya.

"Dengan adanya kejadian tersebut tidak ada pilihan lain, selain mahkamah harus mengagendakan sidang panel untuk mengonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan penarikan kepada para pemohon. Bahwa terlepas dari misteri yang menyelimuti penarikan dan pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu sehari," sambungnya.


 




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x