JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai melanggar prinsip demokrasi dan melakukan penyalahgunaan wewenang karena menggunakan intelijen untuk mengetahui data, kondisi, hingga arah atau agenda seluruh partai politik.
Hal tersebut disampaikan oleh para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN untuk menanggapi pernyataan Jokowi yang mengaku punya data intelijen mengenai kondisi internal partai politik.
Peneliti Ahli Utama kluster Partisipasi Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah Pusat Riset Politik BRIN Firman Noor mengungkapkan hasil kajian bersama rekan-rekannya yang menemukan, Jokowi sudah masuk terlalu jauh ke dalam internal parpol.
Baca Juga: Agenda Jokowi di IKN Hari Ini, Tinjau Berbagai Proyek Pembangunan hingga Nonton Konser Musik
"Presiden sudah melanggar prinsip demokrasi 'terlalu jauh ke dalam' (in too deep) hingga mengetahui dinamika internal partai politik," kata Firman, Kamis (21/9/2023), dikutip dari Kompas.com.
Dia berpendapat, pernyataan Jokowi tersebut memperlihatkan peluang untuk melakukan intervensi dalam persoalan politik menjelang Pilpres 2024, sudah sangat terbuka.
"Selangkah lagi, atau bahkan setengah langkah lagi artinya sudah sangat terbuka peluang intervensi secara tidak langsung yang secara nyata dilakukan oleh presiden dalam mengintrusi partai-partai politik," ucapnya.
Selain itu, Firman menilai pernyataan Jokowi tersebut menunjukkan potensi gangguan terhadap pemilu dan pilpres di masa mendatang akan bertambah seiring dengan adanya intervensi dari lembaga intelijen.
Sebab, selama ini gangguan pemilu yang kerap terjadi yaitu seputar politik uang, rendahnya partisipasi politik masyarakat, pengaruh oligarki, dan lainnya.
Baca Juga: Jokowi, Basuki, dan Sri Mulyani Kamping di IKN, Sarapan Nasi Uduk, Lanjut Tinjau Proyek Pembangunan
Pernyataan Jokowi tersebut, kata Firman, memperlihatkan presiden melalui kekuasaan yang dimilikinya justru menjadikan partai politik sebagai target untuk membuat pemetaan untuk mendeteksi 'potensi ancaman' dari parpol-parpol yang sudah berdiri.
"Yang pada akhirnya bukan tidak mungkin mengkondisikan dan mempengaruhi hasil pemilu," ucapnya.
Dengan demikian, lanjut Firman, potensi intervensi presiden untuk 'mengkondisikan' partai-partai politik menuju 'pengondisian pemilu' melalui aksi lembaga intelijen menjadi terbuka lebar.
"Melalui pengakuan presiden mengetahui segala sesuatu yang ada di internal seluruh partai politik, merupakan pintu masuk bagi upaya mendukung atau endorsement partai politik dan pilihan calon partai politik tertentu," ujar Firman.
"Hal ini pada akhirnya mencederai prinsip pemilu yang bebas dari intervensi manapun."
Sementara peneliti dan Koordinator klaster Konflik, Pertahanan, dan Keamanan Pusat Riset Politik (PRP) BRIN Muhamad Haripin mengatakan pernyataan Jokowi memperlihatkan hubungan antara presiden dan lembaga intelijen yang penuh dengan konflik kepentingan.
Baca Juga: Revisi Aturan Jualan Online Sudah Sampai ke Meja Jokowi, Selanjutnya Tunggu Diteken Zulhas
"Dari analisis kami memang ada risiko apa yang diungkapkan presiden adalah satu praktik dari intelijen politik," kata Haripin.
Berdasarkan kajian dan analisis di PRP BRIN, kata dia, aksi spionase terhadap parpol mengindikasikan terjadinya penyalahgunaan intelijen untuk kepentingan kekuasaan.
Dampak dari hal itu, menurutnya, adalah pelanggaran hak kebebasan masyarakat menjadi ancaman serius bagi proses jelang Pemilu 2024. Hal itu juga dinilai mengancam nilai kebangsaan yang terkandung dalam Pancasila.
Haripin menambahkan, mobilisasi intelijen untuk mematai-matai parpol adalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang.
Sebab, tugas intelijen mengumpulkan dan mengolah informasi soal ancaman, bukan pengumpulan bahan keterangan tentang koalisi atau oposisi politik.
Dengan demikian, Haripin menilai Jokowi terindikasi melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara yang mengatur pembagian fungsi intelijen di antara Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, dan Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri.
Baca Juga: Presiden Jokowi Klaim Pegang Data Partai Politik dari Intelijen: Sarapan Saya
Praktik memata-matai parpol juga dinilai sebagai wujud intimidasi negara. Dampaknya, kata Haripin, bisa menimbulkan ketakutan pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, berbangsa dan bernegara, di tengah situasi menuju Pemilu 2024.
"Aksi spionase terhadap partai politik mencederasi prinsip Luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan Jurdil (jujur, adil). Aksi mata-mata bisa dipandang sebagai bentuk obstruksi (menghalangi) terhadap upaya menyukseskan Pemilu 2024," ucap Haripin.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.