Sementara itu, berdasarkan kesaksian warga, polisi disebut menembakkan gas air mata ke arah kebun di dekat SMPN 2 Batam.
Kondisi itulah yang kemudian membuat siswa yang sedang melakukan belajar langsung kocar kacir, berlarian ke bukit di belakang sekolah.
“Ini gambar siswa SMPN 22 yang kemudian lari kocar kacir pada saat itu setelah ditembakkan gas air mata,” kata Rozy menunjukkan foto anak-anak sekolah di atas bukit.
Dengan demikian, kata Rozie, temuan dari hasil investigas ini membantah pernyataan polisi yang menyatakan bahwa tidak perlu ada evaluasi terkait penggunaan gas air mata dalam penanganan kerusuhan di Rempang.
Akibat penembakan gas air mata yang dilakukan polisi, Rozy menambahkan, 10 siswa dan seorang guru jadi korban.
Baca Juga: NU dan Muhammadiyah soal Rusuh Pulau Rempang: Kesentosaan dan Kemuliaan Masyarakat Nomor Satu
Rozie pun heran polisi masih menembakkan gas air mata kea rah sekolah. Padahal, di sekitar lokasi bentrok terdapat gapura yang menandai adanya sekolah.
“Sudah sepatutnya polisi mengetahui di tanggal itu ada anak sekolah, seharusnya tidak menembakkan gas air mata ke arah sekolah,” kata dia.
Adapun Tim Solidaritas untuk Rempang merupakan gabungan dari sejumlah LSM seperti, Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Kemudian, Walhi Riau, KontraS, Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), LBH Pekanbaru dan Trend Asia.
Seperti diketahui, bentrokan antara warga Pulau Rempang dengan aparat terjadi karena rencana relokasi warga Pulau Rempang, Galang, dan Galang Baru.
Baca Juga: Gelar Solidaritas dan Doa untuk Warga Pulau Rempang, Muhammadiyah: Daulat Rakyat Masih Ada
Pulau itu disebut masuk dalam kawasan pengembangan investasi yang akan dijadikan Kawasan Rempang Eco-City.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.