Ia kemudian menjelaskan perbedaan pendapatan negara antara saat mengekspor nikel mentah dan setelah melakukan hilirisasi.
“Saat kita ekpor mentah nikel hanya kurang lebih kita dapat 2.1 bilion USD untuk semua kategori atau Rp30 triliun per tahun, itu juga untuk perusahaan termasuk BUMN.”
“Saat ada hilirisasi, mulai tahun 2020, kemudian angka 33,8 bilion USD atau Rp 510 triluin. Dari Rp30 triliun jad1 Rp510 triliun,” ujarnya.
Saat mendapatkan Rp30 triliun, lanjut Jokowi, negara juga memperoleh royalti serta biaya ekspor.
“Kemudian saat Rp510 kita juga dapat royalti, Pbh badan, pajak karyawan, biaya ekspor dapet.”
“Untuk perusahaan ya urusan sana. Tapi kita dapet penerimaan negara dari itu, pajak, royalti, biaya ekspor, misal kayak di Freeport kita dapet deviden juga,” ucapnya.
Pendapatan yang diperoleh negara tersebut, lanjut Jokowi, kemudian digunakan untuk dana desa, dana bantuan dan membangun infrastruktur.
“Kenapa Eropa ngambek dan bawa kita ke WTO? Karena nilai tambah dia bukan di sini, dia nggak mau, jadinya kita digugat, tapi kita lawan.”
Baca Juga: Sering Bahas Krisis Pangan hingga Energi, Jokowi: Bukan Nakuti, Tapi Cari Solusi
Jokowi juga menyebut bahwa Indonesia membutuhkan teknologi dan dana yang besar. Oleh sebab itu pemimpin ke depan harus memahami tentang hal ini.
“Kita butuh teknologi dan kita butuh dana yang besar. Tapi pemimpin kedepan harus paham tentang ini, berhitung dan ngecek ke lapangan.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.