Dengan disaksikan penjaga dari luar ruangan dia mulai berbicara dengan bahasa Inggris bahwa dia merendahkan harga dirinya untuk datang ke tahanan.
Lalu dia meminta saya mengakui tuduhan yang diberikan kepada saya dengan dalih kalau sudah memeriksa rekaman CCTV.
Pada intinya dia mau mengatakan kalau saya mau mengakui maka saya akan divonis tujuh tahun bukan hukuman mati atau seumur hidup.
Lalu saya kembali ke sel. Di sana saya berharap untuk bangun dari mimpi buruk ini dan berpikir kenapa mereka sangat yakin kalau saya menaruh racun di kopi tersebut. Saya benar-benar tidak mengerti apa maksud semua ini.
Yang mulia, salah satu pengalaman yang terberat adalah waktu rekonstruksi di Grand Indonesia. Setibanya di sana, saya melihat banyak sekali polisi baik di luar ataupun di dalam gedung.
Baca Juga: Jejak Kasus Kopi Sianida (I) : Pembunuhan di Kafe Olivier Versi Netflix
Apapun tujuan mereka itu sudah berhasil mengintimidasi. Dengan memakai baju tahanan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan, saya mendapatkan tatapan sinis dari semua orang, terutama pegawai kafe Olivier.
Tapi yang meembuat saya hancur adalah pada saat melihat Arif dan Hanny dan keluarga mereka. Di balik ekspresi saya yang tenang saya hanya ingin berteriak kepada mereka kalau saya tidak membunuh Mirna.
Mohon tolong saya, saya sangat menderita. Namun pada saat itu saya hanya bisa menerima perlakuan dan perasaan mereka dan berdoa semoga Tuhan memberikan jalan keluar.
Tidak selesai itu saja, setelah itu saya harus berjalan menuju toko sabun. Di sore hari pada hari Minggu saya harus melewati pengunjung yang menghujat saya pembunuh berdarah dingin dan mengambil foto, sampai sekarang saya tidak tahu harus bagaimana harus menghadapi semua itu.
Saat itu saya kembali ke sel dan mengeluarkan semua air mata yang tertahan seharian. Saya tidak mau memperdulikan situasi sel yang sangat tidak nyaman karena hal ini.
Selama masih secara rutin diperiksa di Polda dan di RSCM, walau berat saya tetap mengikuti dan berharap cepat selesai dan bisa pulang. Bagaimanapun stressnya saya, saya tetap menghormati proses pemeriksaan sesuai prosedur.
Semua tuduhan yang berdatangan dari orang-orang yang tidak dikenal dan orang-orang yang dulu saya sayangi membuat saya merasa kalau tidak ada lagi yang tersisa dalam diri saya. Namun saya yakin semua akan baik-baik saja.
Setelah empat hari dikurung sendiri, saya dipindahkan ke Pondok Bambu. Pertama-tama saya sangat takut karena begitu banyak orang di sana membuat saya sangat khawatir akan peringatan polisi pada saat saya ditahan.
Setelah keluar dari isolasi di Polda saya perlahan mulai bisa memepersipkan diri untuk bisa menghadiri proses sidang yang menyeramkan ini. Menyeramkan karena tujuan dari persidangan ini adalah untuk mengadili saya sebagai pembunuh. Padahal saya tidak melakukan itu.
Bahkan saat proses persidangan berlangsung kehidupan saya pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kasus ini dibahas dan menjadi konsumsi publik.
Banyak orang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja menindas dan menekan saya. Saya tetap bersyukur karena masih ada orang di sekitar saya yang saya kenal secara pribadi mapun tidak dengan tulus memberikan dukungan dan percaya kalau saya tidak bersalah. Dengan dukungan tersebut saya bisa bersikap tegar dan tersenyum.
Kalau Yang Mulia dapat berhenti sejenak membayangkan, Yang Mulia berada di posisi saya, Yang Mulia akan bisa mengerti kenapa saya bertanya-tanya apa yang terjadi dan mengapa semua ini sangat membingungkan, bagaimana bisa orang berbuat jahat seperti ini terhadap saya.
Karena pengalaman ini hidup saya tidak akan kembali seperti semula. Namun saya tidak menyesal telah mengenal Mirna. Dia akan selamanya hidup di hati saya sebagai teman yang baik dan dia tahu kalau saya tidak mungkin meracuni orang.
Saya memohon Yang Mulia bisa dengan bijak menilai karakter saya. Bukan berdasarkan kebohongan. Walaupun sisi baik saya selalu diabaikan di persidangan ini, saya tetap berharap agar Yang Mulia bisa menilai dengan hati yang arif dan bijak dalam menilai karakter saya yang sesungguhnya.
Saya bersumpah kalau saya bukan seorang pembunuh. Saya berada di sini dengan tegar dan kuat adalah bukti yang mutlak kalau Tuhan bersama kita semua. Terimakasih Yang Mulia yang sudah mendengarkan saya"
Pada 27 Oktober 2016, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya menjatuhkan vonis hukuman 20 tahun penjara kepada Jessica Kumala Wongso. Ia dinyatakan bersalah dan memenuhi unsur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana.
Upaya hukum sempat ditempuh oleh Jessica, ia mengajukan banding pada 7 Maret 2017 ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, namun ditolak. Setelah bandingnya ditolak, Jessica melakukan upaya hukum lanjutan dengan mengajukan kasasi ke MA. Namun, permohonan kasasi Jessica dengan nomor register 498K/Pid/2017 juga ditolak MA pada 21 Juni 2017.
Jessica terus berupaya agar bebas dari hukuman penjara karena merasa tidak membunuh Mirna. Dia pun mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung, namun pada 3 Desember 2018, PK yang diajukan Jessica ditolak.
Tujuh tahun berlalu sejak kasus pertama kali mencuat, Jessica Wongso hingga saat ini masih mendekam di rumah tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Sumber : Kompas TV, berbagai sumber
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.