JAKARTA, KOMPAS.TV - Nama Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres, kini sedang jadi perbincangan setelah salah satu anggotanya diduga menyiksa warga sipil, Imam Masykur, hingga tewas.
Pasukan yang bertugas menjaga presiden dan keluarganya ini, terbentuk di awal kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu 3 Januari 1946.
Tanggal tersebut sebenarnya hari ketika Presiden Soekarno dan wakilnya, Mohammad Hatta, menuju Yogyakarta karena kondisi Jakarta yang tidak aman setelah proklamasi dibacakan.
NICA (Netherland Indies Civil Administration) saat itu melancarkan serangan dan teror bertubi-tubi terhadap tokoh-tokoh republik.
Adinegoro, wartawan Pewarta Deli, saat tiba dari Medan menyebut kondisi Jakarta kala itu, "Bukan suasana kemerdekaan."
Dia menggambarkan kekacauan yang dilakukan para tentara NICA di Jakarta. Teror dan saling serang terjadi antara tentara sekutu dan para pemuda di Jakarta.
Tercatat pada 20 Desember 1945 pukul 12 siang, rumah Perdana Menteri Sjahrir diobrak-abrik tujuh anggota NICA.
Baca Juga: Ancaman Anggota Paspampres ke Ibunda Imam Masykur: Anak Ibu Saya Bunuh, Saya Buang ke Sungai
Tak menemukan Sjahrir di rumahnya, para tentara tersebut mencegatnya di jalanan. Kala itu, Sjahrir yang tak punya pengawal, menyetir sendiri mobilnya.
Siang itu, tiba-tiba lima serdadu menyetop dan melepaskan tembakan ke arahnya. Beruntung, tembakan itu hanya mengenai kap mobil. Sjahrir pun terus melaju ke rumahnya di Jalan Jawa no.61.
Sehari sebelumnya, mobil profesor Soepomo yang ada di halaman rumahnya, digedor-gedor serdadu Belanda pada tengah malam.
Kemudian wartawati Herawati Diah ditangkap dan diperiksa, tapi kemudian dilepas kembali.
Pada 28 Desember 1945, Belanda menembaki mobil Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Tidak hanya itu, pada akhir tahun 1945 itu, semua instansi yang mengurus layanan umum seperti listrik, air minum dan dan telepon, diambil alih NICA.
Bahkan, pada 29 Desember, kepolisian Indonesia di Jakarta dibubarkan dan dibentuk korps baru bernama Civilian Police (CV) yang anggotanya terdiri dari warga pribumi, Belanda, dan Inggris.
"Keadaan makin hari makin sesak rasanya. Pertanyaan timbul di kepala para pemimpin Indonesia, apakah Belanda mau menyingkirkan pemimpin-pemimpin Republik supaya dapat menancapkan kekuasaan penjajahannya?" tanya wartawan Rosihan Anwar dalam bukunya, Kisah-Kisah Jakarta setelah Proklamasi.
Adalah Tan Malaka yang mengadakan pertemuan dengan Soekarno. Dia menyarankan Soekarno dan Hatta segera pindah, sebab berbahaya bila mereka tetap di Jakarta.
Nah, kepindahan Soekarno dan Hatta ke Yogyakarta dirahasiakan dan dikawal ketat.
Dalam suasana diliputi rahasia, Soekarno dan Hatta pun berangkat meninggalkan Jakarta pada Kamis malam, 3 Januari 1946.
Dalam misi ini, ada delapan pemuda yang sejak Indonesia merdeka mengajukan diri sebagai pengawal Bung Karno, langsung menyiapkan segala sesuatunya.
Delapan pengawal inilah yang kemudian berjasa dalam keberhasilan operasi senyap itu, hingga bisa membawa Presiden Soekarno tiba di Yogyakarta dengan selamat pada 4 Januari 1946.
Menurut catatan Rosihan Anwar, kereta api yang membawa Soekarno dan Hatta berhenti di belakang rumah presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56. Setelah rombongan naik, kereta bergerak ke Yogyakarta.
Dicukil dari buku 70 Tahun Paspampres, selain Soekarno dan Hatta beserta keluarga, ada pula jajaran menteri, staf, dan keluarga mereka.
Perjalanan kereta ini ternyata di luar jadwal kereta yang ada. Perjalanannya dirahasiakan, pengamanan dilakukan ekstra ketat. Tak hanya di dalam kereta, pengamanan juga dilakukan di jalur jalan raya yang bersinggungan dengan jalur kereta.
Keberhasilan memindahkan para pemimpin republik dalam kondisi negara yang morat-marit itulah yang dijadikan hari jadi Paspampres.
Baca Juga: Ibas: Pemeriksaan Anggota Paspampres yang Diduga Lakukan Pembunuhan Harus Transparan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.