JAKARTA, KOMPAS.TV – Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut dua mitos yang membayangi bangsa Indonesia selama ini pernah sudah terpatahkan.
Pernyataan SBY tersebut ia sampaikan dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Menurut SBY, mitos tentang bangsa Indonesia tersebut diperolehnya dari tiga buku yang pernah ia baca.
Ketiganya adalah Manusia Indonesia karya Muchtar Lubis, kemudian Pribumi Malas karya Syed Hussein Alatas, dan Asian Drama karya Gunnar Karl Myrdal.
“Dari tiga pemikiran besar, dari tiga buku itu, saya menemukan paling tidak tiga mitos yang selama ini membelenggu, seolah-olah mematok pikiran kita sehingga kehilangan kemerekaan, kehilangan kepercayaan untuk bergerak menjadi bangsa yang maju,” ujarnya dikutip dari Youtube Kompas TV.
Muchtar Lubis, kata SBY dalam buku itu menyebut ada ciri manusia Indonesia, yakni, munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, berwatak lemah, percaya takhayul, dan berjiwa seni.
“Dari enam itu sepertinya yang lima konotasinya negatif, hanya satu yang positif, yaitu berjiwa seni, artistik.”
Baca Juga: SBY Singgung soal Peningkatan Ekonomi pada Eranya, Klaim Demokrasi Indonesia Terjaga Baik
“Apa kata Hussein Alatas dalam bukunya mitos pribumi malas? Sebetulnya Pak Hussein Alatas ini tidak mengatakan pribumi Indonesia malas, bukan. Justru beliau menentang dari para kolonialis yang pernah menjajah tiga negara.”
Menurut SBY, dalam bukunya tersebut Hussein Alatas mengatakan pribumi yang ada di Asia Tenggara ini, utamanya Indonesia, Malaysia dan Filipina ini sebagai malas, terbelakang, intelektual rendah, dan sebagainya.
Sementara dalam buku Asian Drama, lanjut SBY, mengatakan bahwa ketika dipotret watak, karakter, kultur manusia yang ada di Asia, termasuk Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Sebagainya, tesisnya adalah sulit untuk maju.
“Bagaimana mau maju karena karakternya, knowledgenya, karena miskin dan sebagainya.”
Mitos lain, lanjut SBY adalah tentang pembangunan, yang mengatakan, ‘Hei, bangsa-bangsa berkembang, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kalau Anda ingin sejahtera, jalannya ya membangun ekonomi, lupakan demokrasi, you have to choose, nggak mungkin dua-duanya’.
Mitos berikutnya adalah tentang keamanan nasional, yang menyebut bahwa jika bangsa ini mau tenteram, harus memilih antara kebebasan atau stabilitas keamanan.
“Kalau bangsa mau tenteram, aman, stabil, ya kurangi kebebasan, kontrol kebebasan, seolah—olah kita harus memilih, milih stabilitas dan keamanan yang baik atau kebebasan yang bisa merusak stabilitas dan keamanan.”
“Ini dua mitos yang juga ada di negeri ini, di masyarakat kita yang berlangsung berpuluh-puluh tahun, seolah-olah kita tidak bisa kedua-duanya, dan kalau tidak meilih tidak akan sukses,” ujarnya.
Ia kemudian menyampaikan pendapatnya bahwa mitos yang ada dan dijelaskannya tersebut terikat dengan konteks waktu, ruang, dan keadaan.
“Mungkin dulu begitu. Dekade demi dekade tentu terjadi perubahan, transformasi. Oleh karena itu, mitos yang serba negatif itu mungkin sekarang sudah banyak yang berubah, mungkin juga masih ada.”
“Saya pribadi melihat tidak seperti dulu itu, yang jelas sudah ada pergeseran, ada perbaikan, dan ada transformasi,” ujarnya.
Ia yakin bahwa enam ciri dalam buku Mochtar Lubis, yang lima di antaranya negatif yang satu positif itu, sudah bergeser menjadi lebih bagus dan positif.
Demikian pula dengan mitos yang tercantum dalam buku Asian Drama. Menurutnya, itu pengamatan tahun 1998.
Kini, Indonesia sekarang menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, dan ini merupakan achievement.
“Yang penting jaga, jangan sampai demokrasi yang kita bangun dengan susah payah mundur kembali, terjadi side back.”
“Indonesia adalah negara terbesar di Asean, jadi kalau dianggap nggak mungkin maju, sulit maju, (faktanya) kita maju, makin maju dibandingkan masa-masa yang lalu,” kata SBY.
Dua mitos lain, yakni harus memilih demokrasi atau pertumbuhan ekonomi serta kebebasan dan kestabilan keamanan, menurutnya sudah pernah ia patahkan.
“Tinggal dua, apakah betul kita harus memilih kalau mau ekonominya tumbuh ya demokrasinya nomor duakan. Kalau mau demokrasinya stabil, aman, ya nggak usah bicara kebebsasan. Kalau ini, hakkul yakin kita tidak harus meilih.”
“Ketika saya dengan teman-teman yang hadir pada malam hari ini mendapatkan mandat rakyat, amanat dari rakyat untuk memimpin Indonesia, saya kira masih ingat, ekonomi kita tumbuh baik, enam persen, demokrasi kita terjaga baik,” ujarnya.
Baca Juga: [FULL] Pidato Kebudayaan SBY Mematahkan Mitos-Mitos, dari Pembangunan hingga Demokrasi!
Demikian juga mengenai stabilitas keamanan dan kebebasan, menurut SBY pernah dia hadirkan di masa pemerintahannya dulu.
“Keamanan dan freedom, kebebasan, hadir dulu, tidak ada yang dikekang, tidak ada yang dikontrol, sama-sama.”
“Artinya, dua mitos ini jangan lagi jadi alasan apa pun oleh pihak manapun untuk memaksakan sesuatu yang tentu bukan itu yang patut kita pilih di bumi Indonesia ini,” ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.