JAKARTA, KOMPAS.TV – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) melakukan bedah kasus atas putusan pengadilan tentang tanah negara di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Kemanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, Selasa (18/7/2023).
“Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melakukan bedah kasus atas putusan pengadilan mengenai tanah negara di Tanjug Morawa, Sumatera Utara, seluas 464 hektare, itu miliknya, aslinya itu milik PTPN II,” kata Mahfud.
Namun, kata Mahfud, dalam gugatan perdata di pengadilan, pihak PTPN kalah oleh para penggugat yang berjumlah 234 orang.
“Kita baru tahu tahun 2019, sesudah para penggugat berjumlah 234 orang itu minta eksekusi.”
“Ketika dia minta ekseskusi barulah kita tanya ke BPN, bahwa tanah itu sejak dulu milik PTPN dan belum pernah ada perubahan, kok tiba-tiba menang di pengadilan,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, lanjut Mahfud, pemerintah menolak eksekusi, karena ditemukan indikasi tindak pidana dalam proses kepemilikan lahan.
Indikasi adanya tindak pidana tersebut, lanjut dia, diduga kuat menggunakan surat keterangan palsu, termasuk ditemukannya sejumlah kejanggalan.
Baca Juga: Eksekusi Lahan PTPN 2 di Desa Sampali Deli Serdang Kembali Ricuh
“Itu surat keterangan kepemilikannya atau pelimpahan dan pemilikan lahannya itu dibuat tahun 1973.”
“Di situ ada keanehan. Satu, tanda tangan yang atas nama gubernur itu tidak identik. Satu miring ke kiri, satu lagi miring ke kanan,” tamba Mahfud.
Kedua, kata dia, ada ejaan yang aneh, yakni penulisan ‘Tanjung Morawa’ dalam surat tersebut, yang menggunakan ejaan baru.
“Aslinya itu sejak dulu tertulis Tandoeooong Morawa, sekarang, di dalam surat keterangan yang diduga palsu itu ditulis ‘Tanjung’ dengan ejaan baru.”
“Kalau dulu Tandoeoooeng, T A N D O E O O O E N G, sekarang ditulis ‘Tanjung’ biasa, itu ‘Tanjung’ yang dikenal ejaan sudah tahun 1973, ejaan yang disempurnakan, itu sudah sangat jauh,” bebernya.
Selain itu, lanjut dia, saat memberi keterangan di pengadilan, para saksi dan terdakwa sekalipun mengaku tidak mempunyai tanah itu.
“Katanya hanya dibisiki oleh temannya. Dan para penggugat pun merasa tidak tahu tanah itu di mana, yang 234 orang itu tidak tahu tanahnya di mana,” imbuh Mahfud.
Oleh sebab itu, pemerintah merasa bahwa perkara ini harus dipersoalkan sampai final keputusan pengadilan di tingkat kasasi, demi menyelamatkan harta negara.
Saat ini, menurut Mahfud, dilakukan upaya hukum dari sudut hukum pidana, karena hukum pidananya belum inkracht.
“Kita melakukan bedah kasus dan memang ada kejanggalan-kejanggalan yang nanti akan disampaikan, dan telah sebagiannya disampaikan di dalam memori kasasi, itu tanah di Tanjung Morawa.”
Ia menduga ada pihak yang menjadi sponsor dalam gugatan 234 warga untuk menguasai tanah milik negara tersebut.
“Dan kami menduga, berdasarkan temuan-temuan surat perjanjian, di situ memang ada sponsor-sponsornya yaitu pebisnis.”
Baca Juga: Eksekusi Bangunan di Lahan PTPN II kawasan Desa Sampali Ricuh, Diwarnai Aksi Saling Dorong!
Menurutnya, diduga ada perusahaan yang menjanjikan bahwa jika mereka menang dalam gugatan, akan diberi upah masing-masing sebesar Rp1,5 miliar.
“Ini nanti kita sampaikan ke Mahkamah Agung. Tadi kami bedah kasus bersama para akademisi dari empat universitas besar di Indonesia,” kata Mahfud.
“Dari UI Profesor Tuti Harkrisnowo, yang kedua dari UGM Profesor Eddy Hiariej dan Prof Markus, ahli hukum pidana. Ketiga, Prof Hibnu dari Unsoed, dan Prof Didik dari Fakultas Hukum Unair.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.