JAKARTA, KOMPAS.TV - Bakal calon presiden (bacapres) Koalisi Partai Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) Prabowo Subianto ingin memindahkan makam Pangeran Diponegoro dari Kota Makassar ke Yogyakarta. Hal itu dia sampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XVI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (13/7/2023).
"Saya bicara sekarang adalah juga tadi kebanggaan, di sini tempat perjuangan, sebagaimana semua daerah ada pengorbanannya. Dan di sini, di kota ini juga ada makam Pangeran Diponegoro yang dibuang dari daerah asalnya," ujar Prabowo.
"Perlu kita pikirkan, seorang yang berjuang, tertawan oleh musuh, puluhan tahun dibuang, tidak boleh kembali ke kampung halamannya di saat Indonesia merdeka. Mungkin saya sodorkan suatu pemikiran dengan seizin rakyat Sulawesi Selatan, kita kembalikan beliau ke kampung halamannya sendiri," katanya.
Sejarah mencatat Diponegero meninggal di Makassar, setelah dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Perjalanan pemindahan Diponegoro dari Manado ke Makassar disusun sangat rapih dan penuh rahasia.
Sejarawan Inggris Peter Carey dalam bukunya "Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)" yang diterbitkan KOMPAS menyebut pemindahan tahanan dan keluarga Diponegoro ini sebagai perjalanan yang menyiksa, yang berlangsung selama 21 hari, antara 20 Juni hingga 11 Juli 1833.
Baca Juga: 11 November 1785 Pangeran Diponegoro Lahir, "Sang Ratu Adil" Pemimpin Utama Perang Jawa
Diponegoro diasingkan oleh Belanda dari tanah kelahirannya di Yogyakarta, setelah perang Jawa berakhir pada 1830. Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan perang ditangkap, kemudian diasingkan ke Manado di Sulawesi Utara, di Benteng Fort Nieuw Amsterdam. Sang Pangeran diasingkan bersama sebagian anggota keluarga dan para pengikutnya yang setia.
Namun karena beberapa pertimbangan, di antaranya cuaca yang dinilai terlalu dingin, Diponegero kemudian dipindahkan ke Makassar, ke Benteng Fort Rotterdam, benteng besar buatan Admiral Speelman (1628-1684).
Di Makassar, Pangeran Diponegoro dan seluruh rombongan dijaga lebih ketat. Mereka tidak diizinkan berkeliaran di luar tembok benteng. Diponegoro dan keluarganya ditahan di ruangan perwira yang dekat dengan pos jaga utama, dengan pemandangan dari lotengnya mengarah ke Teluk Makassar.
Sebagai tahanan negara (staatsgevangene), Diponegoro tidak diizinkan untuk menulis surat, namun diperbolehkan menulis untuk kesenangan sendiri, misalnya menulis naskah-naskah Jawa yang dia salin.
Namun, akibat kondisi di pengasingan itu, sang pangeran mulai mempersiapkan kematian dirinya dengan apa yang disebut dalam tradisi mistik Syatariah dengan istilah Plawanganing pati (membuka pintu gerbang kematian).
Pada akhir 1848, ia meminta pada Gubernur agar diizinkan bertemu dengan dua putranya yang diasingkan ke Ambon, yaitu Pangeran Dipokusumo dan Raden Mas Raib. Pada saat yang sama, dia juga mencemaskan anak tertuanya, Pangeran Diponegoro II yang berada di pengasingan di Sumenep, Madura.
Namun, pemerintah kolonial Belanda tidak meloloskan keinginan sang pangeran untuk bertemu dengan anak-anaknya. Hal itu karena Belanda masih khawatir pengaruh Diponegoro yang masih kuat.
"Mereka (Belanda, red) barangkali malah ingin agar Diponegoro tidak sampai tahu tentang tragedi yang menimpa keluarganya, termasuk kematian putranya nomor dua termuda, Raden Mas Joned, karena berselisih dan berkelahi dengan perwira Belanda di Yogya pada April 1837."
Di tengah kesedihan dan hari-hari menjelang ajal tersebut, Diponegoro tiba-tiba mendapat surat dari ibunya, Raden Ayu Mangkorowati. Kedatangan surat itu membuat Diponegoro sangat gembira, sebab sudah lama mereka terpisah.
Bahkan kepada Gubenur Celebes de Perez, ia mengatakan bahwa kerinduan terbesarnya adalah melewatkan hari-hari bersama sang ibu yang sudah renta, 80 tahun. Namun, kerinduan anak dan ibu itu tak terlunasi.
Sang ibu meninggal pada 7 Oktober 1852, dan tiga tahun kemudian, Diponegoro menyusul, tepatnya pada 8 Januari 1855.
Baca Juga: Bulan Puasa yang Tak Biasa dan Kisah Penangkapan Pangeran Diponegoro
Dalam korespondensi terakhirnya, Diponegoro menuliskan kepada ibunya akan selalu menaiki tangga loteng untuk melihat ke pelabuhan, menanti kapal uap yang rutin bersandar di Teluk Makassar, menanti kedatangan sang ibu.
Sementara sang ibu menuliskan bahwa kebahagiaan terbesarnya adalah mereka berdua diberi kesehatan dan kewarasan (wilujeng) hingga akhirnya nanti bertemu kembali di akhirat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.