JAKARTA, KOMPAS TV - Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan sebanyak 71,6 responden meyakini masyarakat tetap bersatu di masa Pemilu 2024. Besarnya modal sosial ini harus dibarengi dengan komitmen dari pemerintah dan elite politik.
Dikutip dari Kompas.id, Senin (10/7/2023), hasil survei menunjukkan, lebih kurang tiga perempat responden meyakini masyarakat bisa tetap bersatu di masa pemilu ini. Tidak hanya itu, sebagian dari responden bahkan sangat yakin akan terjaganya kerekatan antarmasyarakat.
"Hingga kini, nuansa perpecahan akibat polarisasi politik memang belum terlalu dirasakan publik. Besar kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh masih sangat cairnya konsolidasi dan potensi koalisi politik," tulis tim Litbang Kompas.
"Masih dinamisnya konsolidasi elite ini membuat identifikasi dan identitas pilihan politik sulit tumbuh di akar rumput," ujarnya.
Baca Juga: Bawaslu Minta Masyarakat Aktif Laporkan Dugaan Pelanggaran Pemilu 2024
Hasil survei juga menunjukkan sebanyak 65,9 responden menyatakan situasi politik saat ini masih relatif tenang, meskipun hampir sepertiga responden lainnya mengaku telah melihat munculnya gejala-gejala polarisasi politik.
Masih belum memanasnya suhu politik ini dirasakan masyarakat karena perdebatan politik masih terlokalisasi di kanal-kanal daring. Tiga perempat bagian responden jajak pendapat mengaku telah melihat gejala polarisasi tersebut di media sosial.
Beberapa contohnya ialah warganet yang saling menghina pilihan politik (30,9 persen), munculnya narasi politik kebencian (26,7 persen), dan mulai terlihatnya buzzer politik (21,5 persen).
Walaupun gejalanya belum dirasakan dalam taraf yang parah, bukan berarti publik tidak khawatir dengan polarisasi politik di masa pemilu.
Hasil survei menunjukkan, sebagian besar responden menyatakan khawatir dengan potensi keterbelahan. Setidaknya lebih dari separuh responden (56 persen) merasa khawatir dengan adanya perpecahan di masa Pemilu 2024.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sebagian besar responden mengatakan, polarisasi politik, apalagi yang kemudian disertai narasi kebencian, berpotensi merusak demokrasi di Indonesia.
Pengalaman di Pemilu 2019 menjadi catatan traumatis bagi sebagian besar masyarakat. Kontestasi pemilihan presiden kala itu sarat dengan tarik-menarik antarkubu pendukung capres.
Untungnya, selama satu tahun terakhir ini kekhawatiran masyarakat atas potensi polarisasi ini cenderung menurun.
Sebelumnya, jajak pendapat Litbang Kompas pada akhir Mei 2022 merekam, sekitar 70 persen responden khawatir polarisasi yang terjadi akibat Pemilu 2019 berlanjut hingga Pemilu 2024. Sementara pada Juni, persentasenya turun menjadi 56 persen.
Meredanya kekhawatiran ini bisa jadi dipengaruhi oleh kian sempitnya jurang pemisah antara dua kubu yang dulu berkompetisi di Pemilu 2019. Hal ini pun
Salah satu indikatornya bisa dilihat dari perbedaan tingkat keyakinan terhadap pemerintah antara pemilih Joko Widodo dan bukan pemilih Jokowi.
Pada survei Oktober 2019, perbedaan tingkat keyakinan tampak kontras antara kedua kubu, yakni 81,3 persen untuk pemilih Jokowi berbanding 37,8 persen untuk nonpemilih Jokowi.
Hasil pengukuran pada Mei lalu menunjukkan, perbedaan persepsi di antara kedua kubu menyempit, yakni 86 persen berbanding 55,4 persen.
Dalam melihat polarisasi politik, terdapat beberapa faktor yang dirasa paling berpengaruh sebagai penyebab utama.
Dari survei kali ini terlihat bahwa toleransi atau sikap menghargai pilihan orang lain menjadi faktor paling penting yang harus dijaga untuk mencegah terjadinya keterbelahan.
Lebih dari 27 persen responden menyatakan, sikap saling tidak menghargai atau intoleransi menjadi sumber utama perpecahan ketika pemilu.
Faktor kedua yang harus diwaspadai ialah hoaks atau berita bohong. Setidaknya 22 persen responden survei kali ini menilai hoaks menjadi faktor utama di balik polarisasi.
Temuan ini selaras dengan hasil jajak pendapat pada Mei 2022 yang menunjukkan 21 persen responden merasa hoaks jadi faktor pendorong keterbelahan.
Lebih lanjut, publik juga menyoroti sikap para elite politik yang justru cenderung memecah belah masyarakat. Hampir seperlima responden meyakini, polarisasi politik disebabkan ulah politisi yang provokatif.
Hal ini diperkuat juga dengan alasan lain, yakni munculnya fanatisme politik yang berlebihan (16 persen).
Faktor lain yang tak kalah penting untuk diwaspadai adalah munculnya pendengung (buzzer) di media sosial. Pada survei Mei tahun lalu, lebih dari sepertiga responden menyebut buzzer ataupun pemengaruh (influencer) sebagai sumber persoalan utama.
Meski jauh lebih kecil, masih ada 6,5 persen responden yang khawatir gulma media sosial ini akan memicu polarisasi politik pada pemilu mendatang.
Sebagai informasi, pengumpulan pendapat melalui telepon ini dilakukan oleh Litbang Kompas pada 19-21 Juni 2023. Sebanyak 507 responden dari 34 provinsi berhasil diwawancarai.
Baca Juga: Soal Bakal Capres di Pemilu 2024, Pengamat Politik: Belum Banyak yang Berani Bicara Keadilan Sosial
Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi. Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercyaan 95 persen, margin of error penelitian lebih kurang 4,35 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan sampel dimungkinkan terjadi. Pengumpulan pendapat sepenuhnya dibiayai oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.