YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Pelukis Ramadhyan Putri Pertiwi kembali menyelenggarakan pameran tunggal ke-2 di Bentara Budaya Yogyakarta.
Dalam pameran tunggal kedua ini Ramadhyan mengangkat judul "Interlude 2: In The Moment". Pameran dibuka secara resmi Sabtu (10/6/2023) dan diselenggarakan mulai tanggal 11- 17 Juni 2023.
Di pameran tunggal ini Ramadhyan membawa konsep yang cukup unik dan mencoba untuk merepresentasikan "Interlude" dalam bentuk visual karya lukis dengan pengkajian yang tak jauh dari persoalan kehidupan manusia.
Sekitar 15 karya yang dikerjakan pada tahun 2023 dengan media cat akrilik di atas kanvas dan ditulis oleh Karen Hardini.
Rama menjelaskan dalam musik, Interlude merupakan periode jeda waktu, yang diisi oleh instrumen musik yang menyambungkan verse dengan verse atau verse dengan chorus.
Baca Juga: Bentara Budaya Yogyakarta Pamerkan Karya Seni Tinggi dari Produk Keramik Gagal
Seperti halnya alunan musik pada saat tertentu, kita semua membutuhkan jeda dalam hidup.
Makna subjudul "In The Moment" yang berarti saat ini, dimaknai sebagai kondisi pikiran yang fokus dan khusus pada momen saat ini.
Banyak orang mengatakan tentang living in the moment atau hidup di momen saat ini, namun pada kenyataannya itu tidaklah mudah.
Pada Pameran Interlude 2 periode 'jeda' sebagai momen untuk melakukan penyadaran akan kenyataan dan menghadapinya dengan penuh keyakinan.
"Jeda dalam kehidupan, tidak lagi ingin diisi dengan angan-angan akan dunia ideal, karena pada kenyataannya dunia tidak ideal, dan banyak sekali hal dalam kehidupan yang harus disadari eksistensi dan keadaannya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (13/6/2023).
Baca Juga: Pemuda Desa Adat Tenganan Pegringsingan Bali Gelar Tradisi Perang Pandan
Rama menjelaskan periode jeda merupakan salah satu fase terpenting dalam hidup karena berkaitan dengan kesanggupan seseorang dalam menghadapi kenyataan.
Tentu saja dalam menghadapi dan menyadari kenyataan, semua orang membutuhkan jiwa dan mental yang kuat. Diri sendiri harus berani untuk berteriak tidak, jika tidak ingin melakukan sesuatu, sebab orang lain tidak akan melakukannya untuk kita.
Dalam salah satu karya yang berjudul Twigs, Rama menggambarkan abstraksi ranting-ranting pohon yang ditumpuk dan terjalin dengan buah, daun, dan bunga.
Jalinan dan saling terkait antara unsur-unsur pohon itu dimaknai sebagai ‘kerja sama’ dari semua bagian pohon untuk hidup.
"Hal yang perlu direnungkan dari karya tersebut adalah kita sebagai manusia harus menggunakan seluruh fisik dan emosi kita, mengerahkan seluruh jiwa dan raga untuk bertahan hidup. Manusia tidak hanya berjuang untuk hidup bahagia, namun juga harus menerima segala kesedihan, kemarahan dan kesalahan sebagai bagian dari diri sendiri," ujar Rama.
Baca Juga: Desa Wisata Besani di Batang, Edukasi Bahasa Mandarin dan Budaya Lokal
"Kita bukan hanya menjadi pribadi yang siap menerima dan berbuat baik, tetapi juga perlu merangkul sisi jahat, kekerasan dan amarah, menjadi bagian yang tidak terpisahkan demi mencapai satu tujuan, hidup," imbuhnya.
Rama menggunakan flora sebagai metafora kehidupan manusia, karena sebagai sesama makhluk hidup Rama merasa banyak hal yang dapat diperbandingkan.
Seperti siklus kehidupan, lahir, tumbuh, sakit, sembuh, bertambah besar, layu, sehat, tua dan mati. Baik manusia atau flora, semua mengalami itu.
"Alam tentunya adalah guru bagi kehidupan yang apabila direnungkan, banyak sekali hal yang dapat dipelajari dan dipakai sebagai tuntunan hidup," ujar Rama.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.