JAKARTA, KOMPAS.TV - Hasil eksaminasi yang dilakukan 8 akdemisi terhadap kasus pembunuhan berencna terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J menyebut hakim yang menyidangkan perkara itu halusinasi.
Diketahui, sebanyak 8 akademisi melakukan eksaminasi terhadap putusan hakim dalam kasus pembunuhan berencana yang dilakukan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo terhadap ajudannya Brigadir J.
Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahrus Ali, melalui keterangan resminya menyampaikan hal yang dieksaminasi oleh para akademisi itu adalah dokumen terkait perkara a quo kasus pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
"Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis. Dokumen itulah dikaji para eksaminasi," kata Ali seperti dikutip Kompas.com, Minggu (11/6/2023).
Baca Juga: Ferdy Sambo Tulis Surat Menyentuh untuk Anak Bungsunya yang Berulang Tahun, Begini Isinya
Ali membeberkan terdapat tujuh isu hukum dari hasil eksaminasi yang dilakukan para kademisi terhadap putusan Ferdy Sambo.
“Untuk Pak Ferdy Sambo ada tujuh isu (yang dibahas),” ucap Ali.
Pertama, kata Ali, hasil eksaminasi menyatakan bahwa Ferdy Sambo kurang tepat dijerat dengan Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana.
“Apakah perbuatan Ferdy masuk dalam 340 atau 338? Memang secara umum mengatakan bahwa ini sebenarnya tidak tepat untuk Pasal 340, tapi lebih tepat Pasal 338. Karena apa? Keadaan tenang itu tidak terbukti,” ujarnya.
Kedua, majelis hakim yang menyidangkan perkara Ferdy Sambo hanya memiliki satu keterangan saksi, yakni saksi pelaku atau justice collaborator (JC) yaitu Bharada Richard Eliezer.
Karena itu, majelis eksaminator berpandangan putusan hakim kurang tepat jika hanya berdasarkan satu keterangan saksi. Apalagi, keterangan Richard Eliezer bertentangan dengan saksi lainnya.
Ketiga, lanjut Ali, terkait motif pembunuhan yang dilakukan Ferdy Sambo terhadap Brigadir J, di mana hakim mempertimbangkan motif dari versi jaksa dan penasihat hukum.
Dari versi penasihat hukum, disebut yang menjadi motif adalah faktor pemerkosaan. Sementara jaksa mengatakan bahwa itu motifnya bukan perkosaan, tetapi perselingkuhan.
Baca Juga: Banding Vonis Ferdy Sambo dkk, Kejagung: Mereka Minta Keringanan, Kita Ingin Pertahankan Hukuman
Namun, kata Ali, hakim menolak kedua motif itu. Hakim mengatakan motif pembunuhan Brigadir J adalah kecewa meski tak dijelaskan lebih lanjut alasannya.
“Jadi di situ, eksaminator mengatakan hakim itu bahasa kasarnya itu melakukan proses halusinasi. Dia membuat fakta-fakta yang itu tidak ada di persidangan, dan itu menjadi dasar hakim salah satunya menjatuhkan pidana mati,” ucap Ali.
“Sehingga, majelis eksaminator mengatakan pidana mati itu tidak layak dijatuhkan dalam perkara a quo. Karena apa? Karena pertimbangan hakim yang dipaparkan hakim di dalam dokumennya itu tidak lengkap.”
Keempat, Ali mengatakan, hasil eksaminasi juga menyoroti soal tes poligraf yang hasilnya digunakan oleh majelis hakim sebagai pertimbangan dalam memutus perkara itu.
Sementara menurut eksaminator, tes poligraf tidak layak dijadikan pertimbangan karena tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Kelima, mengenai isu soal pelaku penembakan Brigadir J. Ali menjelaskan, jika berdasarkan hasil eksaminasi disampaikan bahwa ada 7 peluru yang bersarang di tubuh Brigadir J.
Rinciannya, lima peluru berasal dari senjata Richard Eliezer. Sementara dua peluru tidak dapat diidentifikasi milik siapa karena sudah berbentuk serpihan yang sangat kecil.
Baca Juga: Hakim Albertina Ho Buka Suara soal Peluang Ferdy Sambo Lolos dari Hukuman Mati
“Oleh majelis hakim disimpulkan, karena jelas yang lima peluru itu berasal dari Richard Eliezer, maka dua peluru yang tidak bertuan itu disimpulkan berarti ini pelurunya Ferdy Sambo,” ujarnya.
“Sehingga hakim mengatakan bahwa Ferdy juga ikut menembak walaupun pertimbangan majelis hakim ini bertentangan dengan bukti ilmiah.”
Keenam, eksaminasi kasus Ferdy Sambo juga menyoroti soal unsur turut serta. Ali mengatakan, mayoritas eksaminator menyatakan penggunaan pasal turut serta tidak tepat.
Sebab, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat diberikan, tetapi harusnya menganjurkan. Akan tetapi, yang terjadi justru pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
“Pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam surat dakwaan. Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia, karena sejak awal hakim sudah mengklaim ini adalah turut serta,” ujarnya.
Terakhir, majelis eksaminator membahas mengenai upaya perintangan penyidikan atau obstruction of justice yang menjerat Ferdy Sambo.
Ali menyebut, berdasarkan pandangan Eddy Hiariej, obstruction of justice itu seharusnya ditujukan bukan kepada pelaku kejahatan, tetapi kepada orang yang membantu menghalang-halangi pelaku atau saksi.
Baca Juga: Selain Siapkan Tempat, Kuat Maruf Giring Brigadir J untuk Dieksekusi Mati Ferdy Sambo
“Jadi Prof Eddy mengatakan tidak tepat kalau dalam perkara a quo, Sambo juga dikenakan pasal tentang obstruction of justice karena dia adalah pelaku dalam perkara a quo,” tutur Ali.
Seperti diketahui, 8 akademisi yang melakukan eksaminasi terhadap kasus pembunuhan Brigadir J dengan terpidana Ferdy Sambo terdiri atas Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Amir Ilyas, Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun, dan Agustinus Pohan.
“Eksaminasi perkara Sambo itu ada delapan eksaminator dari berbagai kampus. Dari UGM ada tiga, salah satunya adalah Prof Eddy,” kata Ali.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.