JAKARTA, KOMPAS.TV - Delapan akademisi melakukan eksaminasi terhadap putusan kasus pembunuhan berencana yang menyeret mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo terhadap ajudannya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Delapan akademisi yang melakukan eksaminasi itu antara lain Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Amir Ilyas, Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun, dan Agustinus Pohan.
“Eksaminasi perkara Sambo itu ada delapan eksaminator dari berbagai kampus. Dari UGM ada tiga . salah satunya adalah Prof Eddy,” kata Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahrus Ali dalam keterangannya yang dikutip dari Kompas.com, Minggu (11/6/2023).
Namun demikian, kata Ali, Eddy Hiariej menolak kapasitasnya sebagai Wamenkumham dalam memberikan eksaminasi terhadap kasus pembunuhan Brigadir J.
Baca Juga: Hakim Kasus Ferdy Sambo, Alimin Ribut Sujono, Pimpin Sidang Perdana Mario Dandy dan Shane Lukas
“Pak Wamen mengatakan saya menolak sebagai wamen, saya murni memberikan pendapat sesuai akademisi selaku guru besar bidang hukum,” ujar Ali.
Ali menjelaskan, hal yang dieksaminasi oleh delapan akademisi itu adalah dokumen terkait perkara a quo kasus pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
"Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis. Dokumen itulah dikaji para eksaminasi," ucap Ali.
Ali mengatakan hasil eksaminasi terhadap perkara Ferdy Sambo ini dilakukan oleh para akademisi karena murni sebagai bentuk kajian akademik.
Dari hasil eksaminasi, terdapat tujuh isu hukum terhadap putusan Ferdy Sambo. Salah satunya menyebut bahwa perbuatan Ferdy Sambo kurang tepat dijerat Pasal 340 tentang pembunuhan berencana.
“Untuk Pak Ferdy Sambo ada tujuh isu, pertama apakah perbuatan Ferdy masuk dalam 340 atau 338. Memang secara umum mengatakan bahwa ini sebenarnya tidak tepat untuk Pasal 340, tapi lebih tepat Pasal 338. Karena apa? Keadaan tenang itu tidak terbukti,” ujarnya.
Selain itu, majelis hakim dalam perkara Ferdy Sambo hanya memiliki satu keterangan saksi, yakni saksi pelaku atau justice collaborator (JC) yaitu Bharada Richard Eliezer.
Baca Juga: Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, & Kuat Ma’ruf Ajukan Kasasi ke PN Jakarta Selatan!
Karenanya, majelis eksaminator berpandangan bahwa putusan kurang tepat jika hanya berdasarkan satu keterangan saksi. Apalagi, keterangan Richard juga disebut bertentangan dengan saksi lainnya.
Selanjutnya terkait motif pembunuhan yang dilakukan Ferdy Sambo, hakim mempertimbangkan motif dari versi jaksa dan penasihat hukum.
Dari versi penasihat hukum, disebut yang menjadi motif ada faktor pemerkosaan. Sementara jaksa mengatakan bahwa itu motifnya bukan perkosaan, tetapi perselingkuhan.
Akan tetapi, lanjut Ali, hakim menolak kedua motif itu dan mengatakan motifnya adalah kecewa meski tak dijelaskan lebih lanjut alasannya.
“Jadi di situ, eksaminator mengatakan hakim itu bahasa kasarnya itu melakukan proses halusinasi. Dia membuat fakta-fakta yang itu tidak ada di persidangan, dan itu menjadi dasar hakim salah satunya menjatuhkan pidana mati,” ucap Ali.
“Sehingga, majelis eksaminator mengatakan pidana mati itu tidak layak dijatuhkan dalam perkara a quo. Karena apa? Karena pertimbangan hakim yang dipaparkan hakim di dalam dokumennya itu tidak lengkap.”
Lebih lanjut, Ali mengatakan hasil eksaminasi juga menyoroti soal tes poligraf yang hasilnya digunakan oleh majelis hakim yang menyidangkan perkara itu sebagai pertimbangan.
Baca Juga: Ferdy Sambo Tulis Surat Menyentuh untuk Anak Bungsunya yang Berulang Tahun, Begini Isinya
Sedangkan, menurut eksaminator bahwa tes poligraf tidak layak dijadikan pertimbangan karena tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Kemudian, Ali melanjutkan mengenai isu terkait pelaku penembakan Brigadir J. Jika berdasarkan hasil eksaminasi mengatakan bahwa ada 7 peluru yang bersarang di tubuh korban.
Rinciannya, lima peluru berasal dari senjata terdakwa Richard Eliezer. Sementara dua peluru tidak dapat diidentifikasi pemiliknya karena sudah berbentuk serpihan yang sangat kecil.
“Maka, oleh majelis hakim disimpulkan, karena jelas yang lima peluru itu berasal dari Richard Eliezer, maka dua peluru yang tidak bertuan itu disimpulkan berarti ini pelurunya Ferdy Sambo,” ujarnya.
“Sehingga hakim mengatakan bahwa Ferdy juga ikut menembak walaupun pertimbangan majelis hakim ini bertentangan dengan bukti ilmiah.”
Eksaminasi kasus Ferdy Sambo juga menyorot soal unsur turut serta. Ali mengatakan, mayoritas eksaminator mengatakan penggunaan pasal turut serta tidak tepat.
Ali menambahkan, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat diberikan, tetapi harusnya menganjurkan. Akan tetapi, pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Baca Juga: Minta Para Polisi Insaf, Megawati Singgung Motif Kasus Ferdy Sambo
“Pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam surat dakwaan. Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia, karena sejak awal hakim sudah mengklaim ini adalah turut serta,” ujarnya.
Terakhir, majelis eksaminator juga membahas mengenai upaya perintangan penyidikan atau obstruction of justice yang menjerat Ferdy Sambo.
Ali menyebut, berdasarkan pandangan Eddy Hiariej, obstruction of justice itu seharusnya ditujukan bukan kepada pelaku kejahatan, tetapi kepada orang yang membantu menghalang-halangi pelaku atau saksi.
“Jadi Prof Eddy mengatakan tidak tepat kalau dalam perkara a quo, Sambo juga dikenakan pasal tentang obstruction of justice karena dia adalah pelaku dalam perkara a quo,” tuturnya.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.