"Itu (rakyat Papua -red) rakyat kita juga, tapi karena dianya enggak diberi pengetahuan, terprovokasi," jelasnya.
Megawati mengaku pernah berdiskusi dengan jenderal polisi untuk menangani konflik di Papua.
Menurut dia, pemerintah bisa menggerakkan beberapa batalyon TNI untuk datang ke Papua guna melihat kondisi di lapangan.
"Kalau menurut saya, kalau sekian batalyon ditaruh, itu kan juga bisa melihat lapangan," terangnya.
Selain itu, Megawati juga menyebut, penempatan sejumlah batalyon itu juga merupakan bentuk dari perang psikologi dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
"Terus (kemudian) latihan di daerah yang aman. Tapi kan kedengaran bagi mereka (KKB -red), yakin itu apa namanya? Perang psikologi," imbuhnya.
"Jadi bukan perang fisik saja. Saya tahu, lha karena saya diajari bapak saya juga," imbuhnya.
Baca Juga: Hadiri Peresmian Kapal Perang Bung Karno-369, Megawati: Kira-Kira Berapa Lagi yang Mau Dibuat?
Sebagai informasi, konflik di Papua terjadi sejak tahun 1969 hingga saat ini. Ada sejumlah inisiatif pembangunan yang dilakukan pemerintah, termasuk otonomi khusus, pemekaran, dan infrastruktur. Namun, konflik di Papua terus terjadi dan cenderung semakin berkembang.
Melansir dari tulisan dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia di Kompas.id, ada empat akar masalah di Papua yang harus diselesaikan pemerintah, mulai dari marjinalisasi, kegagalan pembangunan, sejarah integrasi, hingga kekerasan negara dan pelanggaran HAM (LIPI, 2009).
Konflik Papua sering dikaitkan dengan faktor historis integrasi Irian Barat ke Indonesia. Hal ini sejalan dengan studi yang menyebut konflik Papua dipengaruhi beberapa hal, salah satunya Papua Barat sebagai bagian dari koloni Belanda dan hubungannya dengan Indonesia serta Pepera 1969 (Viartasiwi, 2018) hingga kegagalan dekolonisasi (Chauvel, 2004). Ini menunjukkan bahwa konflik Papua bermula dan langgeng akibat perseteruan negara melawan separatis yang tak kunjung usai.
Namun, konflik Papua tak melulu antara pemerintah dan kelompok separatis. Faktanya, konflik juga terjadi antarsesama orang asli Papua (OAP) dan sesama warga negara (OAP melawan non-OAP) (Indonesia, 2022).
Kajian Gugus Tugas Papua UGM (2022) menunjukkan bahwa konflik Papua didorong oleh empat motif dominan.
Pertama, motif sejarah yang menyangkut aspirasi kemerdekaan. Sebagian besar konflik kekerasan di Papua berkaitan erat dengan kekerasan, represivitas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan sejarah integrasi ke Indonesia (Meteray dan Wabiser, 2020).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.