JAKARTA, KOMPAS.TV - Survei Litbang Kompas Mei 2023 menemukan, penegakan hukum masih menjadi bidang yang nilai kepuasan publiknya paling rendah.
Tingkat apresiasi publik terhadap kinerja penegakan hukum berada di posisi keempat terendah yaitu sebesar 59 persen. Disusul bidang ekonomi (59,5 persen), politik dan keamanan (74,4 persen), dan kesejahteraan sosial (78 persen).
Dilansir Kompas.id, Menkopolhukam Mahfud MD, Jumat (19/5/2023), mengatakan pemerintah terus berupaya memperbaiki kinerja di bidang hukum. Salah satunya dengan mengawasi penyelesaian kasus-kasus hukum yang menjadi perhatian masyarakat.
Ia juga mengatakan koordinasi antarlembaga penegak hukum diperlukan agar tidak ada kasus hukum yang tidak dituntaskan.
Selain itu, mengupayakan pembentukan undang-undang yang mampu mengakselerasi penegakan hukum, salah satunya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana.
Baca Juga: Kepuasan Publik Terhadap Jokowi-Maruf Naik, Tapi Pengangguran Masih Jadi PR
Menurut Mahfud, pemerintah juga memastikan perlakuan yang sama di depan hukum bagi warga, penindakan terhadap aparat yang melanggar hukum, serta pembenahan di institusi kepolisian dan kejaksaan.
Dalam Survei Litbang Kompas, ada 20 indikator yang dinilai dari empat bidang yaitu penegakan hukum, ekonomi, politik keamanan, dan kesejahteraan sosial. Ada sejumlah indikator yang nilainya membaik jika dibandingkan survei yang sama pada Januari lalu.
Hal itu terlihat dari berkurangnya indikator dengan tingkat kepuasan di bawah 50 persen. Pada survei Januari 2023, ada 7 indikator yang nilainya di bawah 50 persen. Sedangkan pada survei Mei 2023, tinggal 2 indikator yang nilainya di bawah 50 persen.
Baca Juga: PDIP: Gibran itu Seperti Gula dengan Semut
Yaitu memberantas suap dan jual beli kasus hukum (42 persen) serta menyediakan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran (43,8 persen).
Adapun 5 indikator lain yang pada survei Mei 2023 kepuasan publiknya menjadi di atas 50 persen ialah memberantas KKN, menjamin perlakuan setara oleh aparat hukum terhadap semua warga, memberdayakan petani dan nelayan, mengendalikan harga barang dan jasa, serta mengatasi kemiskinan.
Terkait hal itu, Mahfud mengatakan, pemberantasan korupsi ke depan akan menggunakan pasal penyuapan, bukan lagi kerugian negara. Sehingga pemberi dan penerima suap akan ditangkap agar menjadi contoh bagi pihak-pihak yang ingin menyuap penyelenggara negara.
Baca Juga: Jokowi Akan Bertemu Presiden Iran Ebrahim Raisi di Indonesia Besok, Ini yang Akan Dibicarakan
Di samping itu, fokus lain adalah mengubah parameter kerugian negara menjadi kerugian perekonomian negara.
Sebab, seringkali nilai kerugian negara jauh lebih kecil ketimbang jika dihitung menggunakan skala kerugian perekonomian negara. Melalui pendekatan ini, akan lebih banyak uang negara yang bisa diselamatkan.
Pengajar kebijakan publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gabriel Lele menilai, tingkat kepuasan publik yang mencapai 70,1 persen merupakan capaian yang sangat tinggi jika dibanding dengan negara-negara lain.
Namun, dalam konteks Indonesia yang masih terus berbenah, itu bukan angka yang ideal.
”Bayangan saya, paling tidak semestinya bisa mencapai 80 persen,” kata Gabriel kepada Kompas.
Baca Juga: Wapres Maruf Amin Minta BSI dan Bank Lain Benahi Sistem Teknologi: supaya Siap Hadapi Pembajakan
Ia menambahkan, wajar jika tingkat kepuasan publik belum ideal karena kontribusi beberapa sektor masih lemah, salah satunya penegakan hukum.
Dalam survei Litbang Kompas, meski kepuasan di bidang penegakan hukum naik dibandingkan dengan yang ditemukan pada survei Januari 2023, angkanya masih di bawah 60 persen.
Menurut Gabriel, hal itu menunjukkan publik merespons positif, tetapi sebatas penuntasan kasus-kasus yang menyita perhatian publik.
Dalam konteks itu, Gabriel memprediksi, langkah yang diambil pemerintah di sisa masa jabatannya masih akan bersifat temporer dan situasional.
Baca Juga: Ingat, Jadwal Kereta di Daop 8 Surabaya Ini Berubah, Jadi Berangkat Lebih Awal
Padahal, dibutuhkan pula langkah komprehensif untuk membenahi penegakan hukum secara sistematis, misalnya perbaikan beberapa regulasi yang dianggap bermasalah.
Persoalan kultural di institusi penegakan hukum juga mutlak diperlukan karena hal itu masih menjadi catatan yang kerap menyebabkan penegakan hukum tak optimal.
”Persoalan kultur itu saat ini sudah menstruktur, seperti soal korupsi dan main-main dengan suap. Itu bukan lagi sesuatu yang melekat dengan orang saja, melainkan juga dengan sistem meski sistem yang dimaksud sistem informal,” ucapnya.
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.