JAKARTA, KOMPAS.TV- Tepat 21 Mei, 25 tahun silam, kata “reformasi” bergema di pelosok Indonesia dan mengubah berbagai tatanana sosial dan politik dengan cukup cepat.
Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun kala itu pun akhirnya jatuh. Kebebasan berpendapat, berserikat dan membuat partai politik muncul di mana-mana.
Pemilu berlangsung tanpa tekanan lima tahun sekali dengan para wakil rakyat dan calon pemimpin dari kalangan mana saja. Indonesia merayakan kemerdekaannya kembali.
Kini setelah 25 tahun, "Pertanyaan paling penting yang menderu-deru di segala ruang hidup kita hari ini, apa yang terjadi setelah rezim otoriter itu berhasil ditumbangkan? Apakah mantra reformasi itu masih menjadi sihir yang ampuh untuk mengubah kenyataan? Setelah 25 tahun waktu berlalu, apakah bangsa ini telah benar-benar merunut peta jalan yang dicoretkan di dinding-dinding kota selama aksi demonstrasi para mahasiswa itu?" demikian pertanyaan dalam catatan pameran drawing experimental dengan tema " Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 1998" di Bentara Budaya Jakarta, yang dibuka Jumat (19/5/2023).
Bentara Budaya Jakarta kemudian melakukan "panggilan" kepada para perupa di tanah air untuk mengajak berefleksi setelah 25 tahun peristiwa Mei 1998.
Tujuannya, semata ingin menjaring pikiran-pikiran kritis, aspiratif, gelisah, kecewa, suka dan duka, tentu saja juga pujian (kalau ada), yang disampaikan dengan cara-cara artistik.
Baca Juga: KPK, Amanat Reformasi yang Kini Terus Jadi Sorotan
Dan hasilnya adalah 46 perupa hasil kurasi dari para kurator Bentara Budaya, serta 12 karya para seniman yang diundang secara khusus, mulai dari lukisan, karikatur, karya tiga dimensi bahkan hingga yang paling mutakhir dengan memanfaatkan media tik tok.
Berbagai media yang digunakan memperlihatkan semangat para perupa merespon situasi masa kini, yang ternyata belum beranjak dari era sebelum reformasi.
Misalnya karya Yugo Widyaputra berjudul "Pesta Belum (juga) Usai", berupa karung yang sedang digerogoti banyak tikus dari berbagai sisi. Karung yang sedang digerogoti tikus itu mampu berputar 180 derajat.
Simbol karung dan tikus mudah sekali diasosiasikan dengan korupsi. Sementara putarannya seperti menggambarkan peralihan kekuasaan, siapapun yang berkuasa para tikus tetap bercokol.
Di sisi karya tersebut, Yugo kemudian menyertakan sepenggal puisi yang diberi judul sama dengan karya tiga dimensinya, "Pesta belum usai, masih ingar bingar, semakin berputar-putar. Masih berpesta dan terus berpesta pora. Bebas mengeruk, mengerat, melahap apa saja.."
Sementara ide yang hampir sama ditunjukkan oleh seniman Yusuf Susilo Hartono lewat karya "Balada Demonstran dan Pinokio".
Dari karyanya terlihat sosok yang sedang marah dengan kulit merah dan di sebelahnya tampak sosok berdasi sedang bermain suling yang berasal dari hidungnya yang panjang. Sementara kakinya sedang menginjak punggung sosok yang terlihat menderita.
Makna dari karya ini ditorehkan Yusuf lewat monitor ukuran besar, tentang para mantan demonstran yang sudah memegang kendali kekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif.
Di antara mereka ada yang tetap amanah. "Sayangnya tidak sedikit yang berkhianat pada cita-cita reformasi, dan jadi pinokio," tulisnya.
Sosok "pinokio" merupakan karakter rekaan dari Italia karya Carlo Collodi, seorang anak nakal yang suka berbohong. Dan setiap kali berbohong hidungnya akan memanjang.
Selain dua karya yang penuh gugatan ada pula karya yang menampilkan sosok ikonik reformasi, yakni aktivis Munir. Oleh Edy Kuken, wajah Munir digambarkan cukup besar dengan ekspresi sedang menatap ke depan dan tangan menutup mulutnya.
Meski pengadilan sudah menghukum orang yang meracuninya hingga tewas, namun motif dan dalang di balik kematiannya masih misterius. Kematian Munir terjadi di era reformasi, 2004.
Baca Juga: Sepanjang 25 Tahun Ada Upaya-upaya Memundurkan Reformasi | SATU MEJA THE FORUM (9)
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, yang hadir membuka acara pameran, juga mengenang kisah di awal reformasi yang pernah menimpanya. "Kemana-mana saya diawasi," katanya. Itu karena dia aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan kemudian mendirikan ICW (Indonesia Corruption Watch).
Tapi setelah reformasi dia merasa bebas bepergian kemanapun dan beraktivitas apapun.
"Saya pernah bekerja di ruangan yang dulu digunakan oleh Pak Harto. Saya pakai WC-nya, saya pakai tempat tidurnya. Itu reformasi," ujar Teten, mengenang saat dia duduk di lingkar kekuasaan sebagai Kepala Staf Presiden tahun 2015 silam.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.